Senin, 21 Januari 2013

Ketika Banjir Mengepung Negeri | Kolom Cahyadi Takariawan


 Cahyadi Takariawan

Masyaallah, bencana terus datang bertubi di negeri ini. Satu bencana belum usai, telah datang bencana berikutnya lagi. Seakan tidak ada lagi tempat yang aman untuk dihuni. Mungkin ini pertanda telah semakin tuanya usia bumi. Atau memang manusia telah kehilangan nurani. Tidak pernah belajar dari kesalahan yang terus menerus terjadi. Alam menjadi tidak ramah kepada siapapun yang menghuni.

Masyaallah, apakah para pemimpin kita terlalu asyik bermimpi? Hanya suka berebut kekuasaan tanpa kesediaan untuk melindungi dan mengayomi. Memainkan aneka trik politik tanpa tanggung jawab dan sekedar menjaga citra diri. Tidak memikirkan nasib rakyat yang terus menerus terzhalimi. Banjir datang setiap saat tanpa bisa terbendung dan terpaksa dinikmati. Media telah meliput kecemasan setiap hari. Ribuan warga masyarakat tinggal di barak-barak pengungsi. Menunggu datangnya relawan membawa bungkusan nasi. Telinga mereka akrab dengan tangisan anak-anak dan bayi.

Masyaallah, apa yang harus kita lakukan jika sudah terlanjur mengalami kejadian seperti ini? Menangis sudah tidak keluar air mata lagi. Meratap sudah tidak berguna, marahpun tidak ada yang peduli. Ayo semua bangkit berdiri. Gandeng tangan semua anak negeri. Jangan mempersoalkan bendera, partai politik, atau organisasi. Semua harus terlibat dengan memberikan kontribusi. Sudah tiba saatnya semua bersedia melakukan evaluasi. Agar korban tidak bertambah dan banjir bisa segera berhenti.

Masyaallah, mari terus bekerja dan tidak putus asa dalam membangun negeri. Masih sangat banyak harapan menanti. Paling tidak, ada berbagai langkah yang bisa kita lakukan untuk menghadapi berbagai carut marut situasi....

Pertama, melakukan evaluasi total atas pengelolaan negeri ini

Masih sangat banyak kekurangan, kelemahan, bahkan kesalahan dalam mengurus negeri ini. Semua pihak harus bersedia membuka diri untuk evaluasi. Bukan untuk saling membenci, namun untuk mencari formula yang lebih teruji. Semua pihak, sejak anggota masyarakat apalagi para pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak terkecuali. Bersama-sama mencermati berbagai program, kegiatan, bahkan dimulai dari visi dan misi. Evaluasi total semua yang belum beres dalam proses membangun bangsa dan negeri.

Bangsa kita memiliki sangat banyak potensi. Jangan dibiarkan rakyat tertindas dan sengsara di negeri sendiri. Sampai banyak yang terpaksa bekerja ke manca negara sebagai TKI yang tidak terlindungi. Karena di negeri sendiri mereka tidak dihargai. Pasti ada banyak yang salah dalam mengelola negeri ini. Ayo semua melakukan evaluasi.

Kedua, mengobarkan semangat peduli dan berkontribusi

Nyatanya banjir sudah terjadi dan tidak berhenti berhari-hari. Tidak perlu tangis dan ratapan yang menyayat hati. Saatnya kita kobarkan semangat peduli dan berkontribusi. Mari berikan bantuan untuk meringankan beban korban banjir, dengan apapun yang kita miliki. Tenaga, pikiran, waktu, dana, fasilitas dan semua yang masih dapat berfungsi. Tidak boleh egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Bukankah kita diperintahkan Tuhan untuk memiliki sikap murah hati?

Nyatanya, banjir telah melumpuhkan berbagai kegiatan ekonomi. Para korban menjadi tidak bisa berproduksi. Mereka harus kita bantu dengan semangat sepenuh hati. Inilah bentuk kesetiakawanan sebagai sesama anak negeri.

Ketiga, tidak saling menyalahkan dan mencaci maki

Sudahlah, jangan saling menyalahkan apalagi saling mencaci maki. Tidak ada gunanya dalam menghadapi bencana besar justru saling berkelahi. Biarkan saja semua pihak memberikan bantuan dengan cara yang sesuai dengan corak setiap organisasi atau instansi. Jangan menyalahkan pihak-pihak yang sudah datang dan menyerahkan bantuan langsung ke lokasi. Walaupun mereka membawa bendera partai atau ormas atau LSM sebagai ciri dan informasi. Ingatkan saja mereka yang tidak peduli dan hanya bisa mencaci.

Semua komponen bangsa harus saling bahu membahu untuk meringankan beban para pengungsi. Tidak ada gunanya merasa paling benar sendiri. Bukan berarti yang datang tanpa bendera itu lebih murni. Masalah ikhlas, adanya di hati. Jangan kita ikut menghakimi.

Keempat, semua pihak segera mencari solusi

Banjir sudah rutin datang di DKI. Setiap pemilihan Gubernur, tema mengatasi banjir selalu menjadi komoditi. Kampanye mereka sangat berapi-api. Ada yang mengaku, kalau cuma banjir sayalah sang ahli. Nyatanya banjir tidak pernah berhenti. Untuk itu, semua pihak harus berpikir menemukan solusi. Banjir harus bisa diatasi. Jakarta adalah ibukota dan lambang kebanggaan negeri ini. Di Istana Negara, banjirpun datang menghampiri. Bukankah ini sudah memasuki simbol supremasi?

Katanya Indonesia sangat banyak pakar, doktor dan profesor yang sangat mumpuni. Apa iya mereka tidak berkutik membiarkan banjir selalu terjadi? Ayo segera temukan solusi. Jangan biarkan waktu-waktu mendatang banjir datang mengepung negeri. Nyatakan dengan semangat, ini adalah banjir besar terakhir yang boleh terjadi. Selanjutnya, kita wajib menemukan metode mengatasi banjir yang sudah rutin kita hadapi.

Kelima, panjatkan do’a kepada Ilahi Rabbi

Bukankah kita warga yang beriman dan percaya kepada kekuatan ruhani? Jangan hanya menganggap banjir sebagai peristiwa alami. Bencana adalah peringatan dari Tuhan Yang Maha Mengasihi. Agar manusia Indonesia mau bangkit berdiri, menjadi bangsa besar, dan tidak dikasihani. Panjatkan doa agar banjir segera berhenti. Agar banjir tidak menelan korban jiwa dan menambah banyaknya pengungsi. Nabi Saw telah mengajarkan lantunan doa suci.

Waktu itu seorang sahabat datang kepada Sang Nabi. Bertanya serius di hadapan mimbar sambil berdiri. “Ya Rasulullah, banyak ternak mati dan terputus pula jalan kami. Berdoalah kepada Allah agar Dia menahan hujan ini.” Kemudian Nabi  mengangkat kedua tangannya, dan melantunkan doa puji.

Allahumma hawwaalaina walaa ‘alaina, allahumma ‘alal akaami wal jibaali wazhi-zhiraabi wa buthuunil audiyati wa manaabitisy-syajari.

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak di atas kami. Ya Allah turunkan hujan di bukit-bukit, pegunungan, dataran tinggi, perut lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan,” demikian doa Nabi.

Sahabat Anas bin Malik mengabadikan kisah ini. “Tiba-tiba hujan langsung berhenti. Kami keluar masjid di bawah terik matahari”.  Haditsnya shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari.  Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini.

Jika merasa doa tersebut terlalu panjang, anda bisa membaca bagian depan doa sang Nabi.“Allahumma hawwaalaina walaa ‘alaina”, cukup bagian ini dibaca berulang kali. Niscaya hujan dan banjir akan berhenti mengepung negeri. “Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak di atas kami.”

Aamiin, ya Allah kabulkan doa kami...


*http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=3027

0 komentar: