BUKU KOMPUTER AKUNTASNSI ACCURATE ONLINE
SETUP AWAL DATA BASE- INPUT TRANSAKSI-PENYAJIAN LAPOAN KEUANGAN
Tampilkan postingan dengan label PAJAK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAJAK. Tampilkan semua postingan
Kamis, 13 Juni 2019
Jumat, 28 Agustus 2015
Ini PTKP terbaru tahun 2015 sesuai PMK 122/PMK.010/2015
Pada dasarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah pengurang penghasilan neto bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak
(PKP). PTKP
ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Per 1 Juli 2015, batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
naik dari Rp 24,3 juta per tahun menjadi Rp 36 juta per tahun, atau Rp 3 juta
per bulan.
Pemerintah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1. Untuk
menjaga daya beli masyarakat. Sebagaimana diketahui dalam beberapa tahun
terakhir telah terjadi pergerakan harga kebutuhan pokok yang cukup signifikan
dampak dari kebijakan penyesuaian harga BBM.
2. Terjadinya
penyesuaian Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)
di hampir semua daerah.
3. Terkait
dengan kondisi ekonomi terakhir yang menunjukkan tren perlambatan ekonomi,
akibat dampak perlambatan ekonomi global, khususnya mitra dagang utama
Indonesia.
Dengan adanya penyesuaian batasan PTKP, harapan pemerintah
yaitu dapat menaikkan permintaan domestik dengan tetap terus mendorong daya
beli masyarakat. Pemerintah menyadari bahwa saat ini tidak bisa mengandalkan
sisi eksternal (perdagangan internasional) untuk mendorong kinerja ekonomi sehingga
diperlukan usaha untuk mendorong permintaan domestik melalui investasi maupun
konsumsi masyarakat.
Berikut rincian besaran PTKP setelah penyesuaian:
No
|
Keterangan
|
Besaran
PTKP
|
1
|
Wajib
Pajak Orang Pribadi
|
Rp 36.000.000,00
|
2
|
Tambahan
Wajib Pajak yang kawin
|
Rp 3.000.000,00
|
3
|
Tambahan
untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
|
Rp 36.000.000,00
|
4
|
Tambahan
untuk setiap anggota keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, contoh: ayah, ibu, dan anak
|
Rp 3.000.000,00
|
5
|
Tambahan
untuk setiap anggota keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, contoh: mertua dan anak tiri serta anak angkat
|
Rp 3.000.000,00
|
Atas tambahan ini paling banyak diberikan untuk 3 (tiga)
orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan
seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
UU Pajak Penghasilan menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, sehingga baik penghasilan maupun kerugian dari seluruh
keluarga digabungkan ke dalam kepala keluarga sebagai satu kesatuan. Oleh
karena itu karyawati yang telah kawin wajib menggunakan NPWP suami dalam
pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya
Ketentuan PTKP bagi karyawati kawin yang
menggunakan NPWP suami dalam pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban
perpajakannya adalah sebagai berikut:
1. PTKP
yang diberikan oleh pemberi kerja dalam penghitungan PPh Pasal 21 adalah
sebesar untuk dirinya sendiri saja, sehingga statusnya dianggap TK/0.
2. Dalam
hal karyawati kawin tersebut dapat membuktikan dengan surat keterangan tertulis
minimal darikecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima
penghasilan, maka besarnya PTKP yang dapat diberikan yaitu sebesar PTKP untuk
dirinya sendiri + PTKP status kawin + PTKP untuk tambahan keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya maksimal 3 (tiga) orang.
Meskipun suami dan istri dianggap sebagai satu kesatuan
ekonomis, dalam hal-hal tertentu penghasilan suami dan isteri dikenai pajak
secara terpisah, yakni dalam hal:
1. suami
istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB-Hidup Berpisah)
2. dikehendaki
secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan (PH-Pisah Harta)
3. dikehendaki
oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri (MT-Memilih Terpisah)
Apabila suami isteri memiliki
keadaan PH atau MT, maka dikenai pajak berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami dan penghasilan neto istri, serta besarnya PPh terutang
yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan
perbandingan penghasilan neto mereka (di hitung secara proporsional).
Dalam hal suami isteri telah hidup berpisah berdasarkan
putusan hakim (HB), Wajib Pajak tersebut diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak
Kawin, sehingga status PTKP-nya adalah TK/tanggungan.
Berikut rumusan rincian besaran PTKP untuk suami istri:
No
|
Keterangan
|
Uraian
|
Besaran PTKP
|
1
|
Suami
isteri memiliki keadaan PH atau MT
|
K/I/0
|
Rp 75.000.000,00
|
K/I/1
|
Rp 78.000.000,00
|
||
K/I/2
|
Rp 81.000.000,00
|
||
K/I/3
|
Rp 84.000.000,00
|
||
2
|
Suami
isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim (HB) dengan melihat hak
asuh tanggungan ada dipihak suami/istri.
|
TK/0
|
Rp 36.000.000,00
|
TK/1
|
Rp 39.000.000,00
|
||
TK/2
|
Rp 42.000.000,00
|
||
TK/3
|
Rp 45.000.000,00
|
Salah satu yang menjadi subjek pajak menurut UU PPh
No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat 1 selain orang pribadi adalah warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Penghasilan dari Warisan yang belum terbagi pada prinsipnya
merupakan hak dan dapat dibagikan kepada para ahli Waris yang berhak, dan
penghasilan tersebut harus digunggungkan dengan penghasilan lainnya yang
diterima atau diperoleh masing-masing ahli Waris. Dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak masing-masing ahli Waris telah memperoleh pengurangan berupa PTKP,
maka dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak atas penghasilan yang berasal dari
Warisan yang belum terbagi tidak diberikan pengurangan berupa PTKP.
Pemberlakuan PTKP akan ditarik mundur sejak tanggal 1
Januari 2015, alias berlaku surut. Lalu bagaimana yang sudah membayar sejak
awal tahun?
Bagi wajib pajak (WP) yang sudah bayar pajak enam bulan
sebelumnya, berarti akan ada kelebihan pembayaran. Ditjen Pajak akan
melimpahkan kelebihan tersebut ke enam bulan berikutnya. Artinya, ada
pengurangan pembayaran pajak yang ditutupi dari kelebihan bayar tersebut.
Tidak ada pengembalian uang, jadi di adjust (sesuaikan) saja
ke depan. Bila masih ada kelebihan pembayaran, maka akan digeser ke tahun pajak
2016. Sehingga pajak yang akan dibayarkan nantinya hanya berupa sisa tambahan.
Akibat dari kenaikan PTKP ini (lebih bayar atas PPh 21) akan
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Bila pada akhir tahun 2015 masih
terdapat lebih bayar, dapat dikompensasikan sampai tahun 2016.
Contoh 1:
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP
yang lama (selama bulan Januari – Juni 2015):
Ahmad Zakaria pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT
Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 4.500.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp
4.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya
Jabatan : 5% x Rp 4.500.000,00 Rp 225.000,00
2. Iuran
pensiun
Rp
100.000,00 (+) Rp 325.000,00 (-)
Penghasilan neto
sebulan
Rp 4.175.000,00
Penghasilan neto
setahun adalah 12 x Rp 4.175.000,00 =
Rp 50.100.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri
Rp
24.300.000,00
– tambahan WP kawin
Rp
2.025.000,00 (+) Rp 26.325.000,00 (-)
Penghasilan Kena
Pajak
setahun Rp
23.775.000,00
PPh Pasal 21 terutang
:
5% x Rp 23.775.000,00
= Rp 1.188.750,00
PPh Pasal 21 sebulan
:
Rp 1.188.750,00 : 12
= Rp 99.063,00
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP
yang baru (selama tahun 2015):
Ahmad Zakaria pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT
Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 4.500.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp
4.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya
Jabatan : 5% x Rp 4.500.000,00 Rp 225.000,00
2. Iuran
pensiun
Rp
100.000,00 (+) Rp 325.000,00 (-)
Penghasilan neto
sebulan
Rp 4.175.000,00
Penghasilan neto
setahun adalah 12 x Rp 4.175.000,00 =
Rp 50.100.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri
Rp 36.000.000,00
– tambahan WP kawin
Rp
3.000.000,00 (+)
Rp 39.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena
Pajak
setahun Rp
11.100.000,00
PPh Pasal 21 terutang
:
5% x Rp 11.100.000,00
= Rp 555.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
:
Rp 555.000,00 : 12 =
Rp 46.250,00
PPh 21 Masa Januari –
Desember 2015 terutang
=
Rp. 555.000,-
PPh 21 Masa Januari –
Juni 2015 yang telah disetor =
Rp. 594.375,-
Terdapat Lebih bayar PPh 21 tahun 2015
sebesar Rp. 39.378,00, dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya / tahun
2016.
Contoh 2:
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP
yang lama (selama bulan Januari – Juni 2015):
Ahmad Zakaria pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT
Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp
5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya
Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00
2. Iuran
pensiun
Rp 100.000,00
(+) Rp 350.000,00 (-)
Penghasilan neto
sebulan
Rp 4.650.000,00
Penghasilan neto
setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 =
Rp 55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri
Rp 24.300.000,00
– tambahan WP kawin
Rp
2.025.000,00 (+) Rp 26.325.000,00 (-)
Penghasilan Kena
Pajak setahun Rp
29.475.000,00
PPh Pasal 21 terutang
:
5% x Rp 29.475.000,00
= Rp 1.473.750,00
PPh Pasal 21 sebulan
:
Rp 1.473.750,00 : 12
= Rp 122.813,00
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP
yang baru (selama tahun 2015):
Ahmad Zakaria pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT
Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp 5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya
Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00
2. Iuran
pensiun
Rp 100.000,00 (+) Rp
350.000,00 (-)
Penghasilan neto
sebulan
Rp 4.650.000,00
Penghasilan neto
setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 =
Rp 55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri
Rp
36.000.000,00
– tambahan WP kawin
Rp 3.000.000,00 (+) Rp 39.000.000,00
(-)
Penghasilan Kena
Pajak setahun
Rp 16.800.000,00
PPh Pasal 21 terutang
:
5% x Rp 16.800.000,00
= Rp 840.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
:
Rp 840.000,00 : 12 =
Rp 70.000,00
PPh 21 Masa Januari –
Desember 2015 terutang
=
Rp. 840.000,-
PPh 21 Masa Januari –
Juni 2015 yang telah disetor =
Rp. 736.878,-
Terdapat kurang bayar PPh 21 tahun 2015
sebesar Rp. 103.122,00, dapat dibayarkan pada masa pajak berikutnya.
Senin, 02 Desember 2013
Soal dan jawaban PPN (SPT Masa 1111)
Bagi para pembaca yang belajar Pajak, saya sajikan contoh dan jawaban (berupa SPT masa PPN 1111) .
Silakan unduh di
1. Soal Latihan PPN
2. Kunci Jawaban (SPT Masa PPN 1111)
Silakan unduh di
1. Soal Latihan PPN
2. Kunci Jawaban (SPT Masa PPN 1111)
Minggu, 24 November 2013
Seri PPh Pasal 22: Pemungut Pajak Dari Waktu Ke Waktu
Daftar
Pemungut PPh Pasal 22 dalam kurun waktu Nov 2007 s/d yang akan berlaku th 2013
:
PMK-224/PMK.011/2012
Periode 23/2/2013 –
|
PMK-154/PMK.03/2010
Periode 31/08/2010 – 22/2/13
|
PMK-154/PMK.03/2007
Periode 27/11/2007 – 30/8/2010
|
1. Bank
Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
|
1. Bank Devisa dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
|
1.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor barang.
|
2.
bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
|
2. bendahara pemerintah dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
|
2.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat
pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang.
|
3.
bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
|
3. bendahara pengeluaran untuk
pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
|
|
4. Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
|
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA,
untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS
|
|
5. Badan
Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya.
|
3.
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN)
dan atau belanja daerah (APBD), kecuali bahan-bahan tersebut pada angka
4.
4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN. |
|
6. Badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
|
5. Badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri
otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri;
|
5.
Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok,
industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya
didalam negeri.
|
7. Agen
Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
|
||
8.
Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
|
6. Produsen atau importir bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan
pelumas;
|
6.
Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
|
9.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari
pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
|
7. Industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang
ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul
|
7.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.
|
Daftar
Pemungut PPh Pasal 22 dalam kurun waktu Mei 2001 – Nov 2007 :
KMK 236/KMK.03/2003
Periode : 2/1/2003 – 26/11/2007
|
KMK-392/KMK.03/2001
Periode : 4/7/2001 – 1/1/2003
|
KMK 254/KMK.03/2001
Periode : 1/5/2001 – 3/7/2001
|
1. Bank
Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
|
1. Bank
Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
|
1. Bank Devisa dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
|
2.
Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat
Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan
pembayaran atas pembelian barang
|
2.
Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat
Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan
pembayaran atas pembelian barang;
|
2. Direktorat Jenderal Anggaran,
Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat
Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
|
3. Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja
daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4.
|
3. Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja
daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4;
|
3. Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang
bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali
badan-badan tersebut pada butir 4;
|
4. Bank
Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina
dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber
baik dari APBN maupun non- APBN.
|
4. Bank
Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina,
dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber
baik dari APBN maupun non- APBN;”
|
4. Bank Indonesia (BI), Badan
Penyehatan dan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT
Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT
Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN
yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun
non-APBN;
|
5. Badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok,
industri kertas, industri baja dan industri otomotif yang ditunjuk oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri.
|
5. Badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok,
industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri
|
5. Badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja,
dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas
penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
|
6.
Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar
minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.
|
6.
Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar
minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.
|
6. Pertamina serta badan usaha
lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT
dan gas atas penjualan hasil produksinya.
|
7.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.”
|
7.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul”.
|