RUANG IKLAN

SILAKAN BERIKLAN DI BLOG SAYA.

Ruang Iklan

Space ini bisa Anda gunakan untuk mengiklankan produk Anda

BUKU KOMPUTER AKUNTASNSI ACCURATE ONLINE

SETUP AWAL DATA BASE- INPUT TRANSAKSI-PENYAJIAN LAPOAN KEUANGAN

Jumat, 01 Maret 2013

Anis Matta, Anugerah Tuhan untuk Indonesia

“Sengsara membawa nikmat” adalah salah satu novel yang kemudian difilmkan dan menjadi legenda di Indonesia. Saya sendiri tidak pernah membaca novel yang ditulis tahun 1928 ini. Saya hanya pernah menonton mini serinya di TV. Itu pun waktu saya kecil tahun 90-an dan saya lupa alur ceritanya. Yang saya tahu, ending dari film tersebut adalah happy ending.
Salah satu yang menarik dari novel/film ini adalah judulnya. Ya, judulnya yang membawa kesan optimisme bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Sebagaimana tanah liat yang harus merasakan sakitnya tempaan dan panasnya bakaran api untuk menjadi gelas keramik yang cantik. Atau sebagaimana anakan pohon yang harus merasakan sakitnya dicabut sampai ke akarnya untuk bisa dipindahkan ke tempat yang membuat anak pohon itu bisa leluasa bertumbuh menjadi pohon yang lebih besar lagi.
Hal ini lah yang mungkin dialami PKS saat ini. Ujian yang menimpa PKS beberapa hari yang lalu, yang notabene terasa pahit bagi kader-kadernya, kalau diibaratkan pohon, kuncup-kuncup bunganya sudah mulai terlihat. Sebegitu cepatnya. Dari berita dan cerita yang sampai kepada kita, banyak masyarakat yang jadi ingin tahu lebih dalam (termasuk saya) pada partai ini. Masyarakat yang kritis mencoba untuk menganalisa berita sampai mereka menyimpulkan bahwa memang terjadi konspirasi pada partai ini. Simpati dan kasihan bermunculan terhadap partai yang terzolimi ini, bahkan dari orang yang sebelumnya antipati. Bahkan diantara mereka ada yang mendaftar sebagai anggota baru partai yang sering memberi kejutan ini.
Namun ternyata, ujian itu tidak hanya memunculkan satu jenis kuncup bunga saja (banyaknya simpati yang berdatangan), tapi juga semakin dikenalnya salah seorang kader terbaik di partai ini. Dia lah presiden PKS yang baru : Anis Matta.
Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya. Namun saya mencoba mencari referensi tentangnya dan dari pidato-pidatonya serta tulisan-tulisannya. Ketika pada orasi perdananya pasca dilantik menjadi presiden PKS, dia menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa PKS saat ini justru malah membangunkan macan yang tertidur. Macan-macan yang tertidur itu adalah para kadernya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang berada pada tataran grass-root. Dan Anis Matta lah raja macannya. Macan yang sebenarnya tidak tertidur, tapi sebagai bagian dari rencana besar partai, sang macan yang terjaga ini dikandangkan dulu sembari menunggu momen yang tepat. Namun ternyata sejarah tidak berjalan linier, menanggapi kejadian luar biasa yang menimpa PKS, sang macan terpaksa dikeluarkan dari kandangnya.
Dia langsung berbuat. Bahkan pada hari hari pertama dia dilantik menahkodai partai itu. Pidato perdananya yang sebenarnya ditujukan untuk menggetarkan dan menguatkan jiwa para kadernya, justru juga membuat masyarakat Indonesia yang menontonnya menjadi terharu, terpesona dan tercerahkan, bahkan tertarik untuk bergabung. Pada hari itu juga, dia mengumumkan untuk melepaskan jabatannya sebagai salah satu pimpinan DPR sekaligus keanggotaannya di DPR. Peristiwa yang jarang ditemukan di negeri ini (untuk saat ini).
Kunjungan ke Jawa Barat, Sumatera Utara, Jogjakarta, Jawa Timur, Makassar (-ed) dan Bali secara berturut-turut non stop dia lakukan di hari-hari berikutnya selepas pelantikannya, untuk menggelorakan semangat para kadernya. Pidato-pidatonya di lima (enam -ed) provinsi itu, yang kemudian diupload di Youtube oleh para netter, adalah pidato motivasi yang menggugah dan mengubah. Sangat jarang ada pidato politik yang memotivasi tapi juga tetap berisi. Hal ini memang karena dulu, jauh sebelum dia berpartai, dia sering mengisi training motivasi. Dia sudah menjadi trainer & motivator jauh sebelum profesi ini menjadi booming seperti yang terjadi sekarang ini. Dia sudah lebih dulu mendahului zamannya.
Dia “hanya” lulusan setara S1 dari jurusan syari’ah LIPIA. Namun kecerdasan dan keluasan ilmunya patut diacungi jempol. Dia pernah menjadi dosen di fakultas ekonomi UI. Dan dia sering mengisi seminar berbagai tema baik di dalam maupun luar negeri. Kegiatan ini lebih banyak dia lakoni sebelum dia berpartai. Maka saya pribadi merasakan sendiri ruh tulisannya, ketika ia menuliskan di bukunya Mencari Pahlawan Indonesia, bahwa ketika harus memilih diantara satu, maka pilihlah keberanian tanpa senjata di medan perang, atau, kecerdasan tanpa pendidikan formal di medan pengetahuan, katanya. Setelah lulus dari LIPIA, sebenarnya dia sudah mengantongi beasiswa S2 di luar negeri. Namun melalui istikhorohnya, beasiswa itu tidak dia ambil. Ada hal yang lebih besar yang harus dia lakukan daripada “sekedar” kuliah S2 pikirnya waktu itu.
Namun Anis Matta tetaplah Anis Matta yang cerdas. Bahkan dari sini kita jadi tahu bahwa kecerdasan logikanya tidak mampu mengalahkan kecerdasan hatinya. Salah seorang dosennya di LIPIA pernah berujar bahwa seandainya ada nilai yang lebih tinggi dari A+, maka nilai itu akan aku berikan untuk Anis. Dia pun sempat mengikuti pelatihan di LEMHANAS dan menjadi lulusan terbaik. Malahan setelah itu dia pun didaulat menjadi pengajar para jenderal di lembaga itu.
Kecerdasan dan keluasan wawasannya ini adalah anugerah tuhan yang tumbuh subur pada diri Anis. Karena Anis memiliki pupuk yang baik berupa kekuatan tekad dan kebiasaan membaca yang dahsyat. Bahkan waktu liburan pada masa sekolahnya dulu, dia isi dengan membaca buku. Bayangkan saja, setelah dikurangi dengan kegiatan pokok: tidur malam, shalat lima waktu, makan dan MCK, selebihnya adalah membaca buku seharian semalaman. Dan itu dia lakukan sepanjang hari liburnya. Saya jadi teringat petuah motivator dunia, Jim Rhon: “The leader is a reader”.
Ketika dalam salah satu pelatihan Anis Matta tentang pengembangan diri, Anis Matta menjelaskan tentang potensi otak manusia yang dahsyat. Bahwa dalam otak manusia bisa diibaratkan ada berbagai macam kamar. Setiap kamar merupakan tema yang berbeda. Sehingga ketika kita mempelajari suatu materi/tema tertentu kita mengaktifkan kamar tertentu di otak kita. Ketika kita merasa lelah, sebenarnya yang lelah itu hanya bagian kamar yang sedang aktif itu saja, namun kita bisa mengistirahatkan kamar itu sambil mempelajari tema lain yang artinya kita mengaktifkan kamar yang baru.
Itulah sebabnya, katanya, mengapa dalam sejarah Islam banyak sekali ditemukan para ulama yang multitalented, yang menguasai ilmu agama, sejarah, geografi, kedokteran, sastra, matematika, kimia, politik, dan sebagainya sekaligus. Inilah juga yang mungkin diterapkan Anis pada dirinya. Bahwa menjadi spesialis dengan ilmu yang mendalam pada suatu bidang tertentu itu penting, tetapi juga menjadi generalis yang mengerti terhadap berbagai persoalan itu juga bukan suatu hal yang mustahil. Dan inilah yang diharapkan oleh Anis untuk dirinya dan para kadernya. Karena menurutnya, kualitas seperti inilah yang harus ada pada seorang pemimpin. Pemimpin besar adalah orang yang memiliki kualitas yang prima pada tiga dimensi manusia sekaligus: Jasadiyah (Fisiknya), Aqliyah (Otaknya), dan Ruhiyah (Jiwanya).
Pemikiran negarawan muda ini sangat brilian. Diantara salah satu gagasannya adalah tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan negara. Belakangan saya jadi sadar, ternyata dasar-dasar syari’ah yang kuat yang pernah dia pelajari semasa kuliah, menjadi semacam kelebihan tersendiri baginya untuk berkreasi namun tidak melanggar norma. Hal ini dibuktikan dengan jujur apa adanya oleh dirinya dan rekan-rekannya dengan mendirikan sebuah partai yang berasaskan Islam. Asas yang menjadi spirit dan sumber motivasi hakiki baginya dan seluruh kader-kadernya untuk memajukan negeri Indonesia.
Bahwa katanya, antara Pancasila dan Islam tidak relevan lagi untuk dipertentangkan, karena memang tidak ada dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Ketika hal ini dijelaskan kepada para jenderal yang notabene sangat menjaga sekali dengan Pancasila, maka para jenderal itu pun menjadi mengerti, “Iya ya, ternyata memang tidak ada pertentangan antara Pancasila dengan Islam, kenapa dulu kita harus saling menumpahkan darah sesama bangsa sendiri”.
Namun kemudian sang jenderal bertanya, “Kalau memang tidak ada pertentangan antara Pancasila dengan Islam, lalu mengapa anda tidak menjadikan Pancasila saja sebagai asas partai Anda?”. 'Sang Macan' menjawab dengan cerdas, “Kita tentu sama-sama tahu bahwa kita pasti mati meninggalkan dunia ini. Dan kami yakin setelah kehidupan dunia ini ada kehidupan lain yang abadi. Kami ingin di kehidupan yang abadi itu, kami hidup dengan nyaman. Dan kami ingin ada jaminan, bahwa perjuangan kami untuk memajukan negeri ini dibalas dengan kenyamanan hidup di kehidupan yang abadi itu. Itulah sebabnya kami menjadikan Islam sebagai asas kami agar menjadi jaminan dan sumber motivasi kami bahwa kerja keras kami membangun negeri ini berbalas syurga-Nya”. Sebuah sumber motivasi, yang membuat para kadernya senantiasa ikhlas berkorban untuk kemajuan negeri ini.
Entah mengapa, saya mempunyai firasat, suatu saat nanti, orang ini akan menjadi pemimpin bangsa yang besar ini: I N D O N E S I A.
DITULIS OLEH: FATIH 

*http://politik.kompasiana.com/2013/02/15/anis-matta-sang-macan-yang-terjaga-534577.html

Perubahan Selalu Bising: 'BJB Case & Thariq bin Ziyad' | Kolom Rhenald Kasali

"Perubahan Selalu Bising"

Author: Rhenald Kasali

“Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.” (Barack Obama)
Tak dapat disangkal, saat ini banyak orang menyenangi kata “perubahan”. Tapi apakah mereka mengerti konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu. Masih banyak orang yang berpikir change atau perubahan adalah “ganti orang” atau ganti pimpinan. Maka tak aneh bila kata “perubahan” bukan cuma laku dalam dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu.
Kalau dibawa ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi kaum profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban politisasi. Lagi asyik melakukan transformasi yang bukan main banyak musuhnya, malahan dapat “musuh baru”, yaitu kandidat pejabat publik yang butuh suara. Mengapa begitu?
Selalu Ada Resistensi
Saya kira publik sudah semakin cerdas dan mengerti, perubahan selalu berhubungan dengan adanya “kelompok yang melawan”. Kaum resisten ini jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka sangat vokal dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat bila kehilangan jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan muka. Dan “kehilanganmuka” bisa berarti “tsunami” bagi pelaku pelaku transformasi.
Padahal transformasi tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energi yang kuat. Transformasi butuh suasana persatuan dan kepercayaan. Banyak orang tak menyadari, setiap langkah transformasi sangat berisiko bagi jabatan seseorang. Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus, kelompok yang resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diperbesar. Padahal dalam era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang kompleks dan mudah mengambil langkah yang salah, lupa atau ada saja kekurangannya.
The Burning Platform
Dalam buku ChaNgE! yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini mungkin kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh mengena pada sasaran. Saya kutipkan saja sebagian: “Perubahan adalah bagian yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur keberhasilannya dari kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu potensi.
”Lalu, pada alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja karena pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: “Sering kali seorang CEO, termasuk saya sendiri, berhadapan dengan perubahan setelah dia sudah berada di ambang pintu.Situasi seperti ini mungkin dapat diatasi, tetapi hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.” Robby memang selalu bicara to the point.
Perubahan, bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita berhasil mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar biasa untuk membuat kita bangkit kembali. Namun manakala kita kalah, betapa bisingnya suara di luar. Apalagi bila Anda melakukan perubahan pada lembaga yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah. Anda akan menyaksikan banyak “peluru nyasar” yang tidak jelas hendak ditembak ke mana.
Perhatikan saja betapa “bisingnya” keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada saat pemungutan suara. Itu pun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang mulanya sama-sama mau memberantas korupsi. Ada peluru yang ditujukan kepada salah satu kandidat meski informasi awalnya mungkin berasal dari orang dalam yang ditujukan kepada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang lain. Lalu ada lagi peluru yang disasarkan kepada CEO.
Penembak yang lihai ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke sasaran yang tepat karena begitu masuk ke ranah politik,tiap pihak punya kepentingan yang berbeda dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change maker yang terlibat, melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali.

Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad.
Kisahnya kurang lebih begini. Thariq yang lahir sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan kabilah Nafazah di Afrika Utara. Perawakannya tinggi, keningnya lebar, dan kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di Afrika Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya, dan terutama keberaniannya. Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan pembimbingnya untuk menaklukkan Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol.
Lalu, Thariq diutus untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja Roderick sedang sibuk menghadapi pemberontakan di kawasan utara kerajaannya, Thariq datang dengan 7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol. Pengiriman pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak dinamai Jabal (Gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya Gibraltar.
Ketika sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh prajuritnya dan dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar semua perahu yang digunakan untuk mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya tentu saja terperangah, kaget, dan sebagian bahkan marah. Setelah membakar semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, “Di mana jalan pulang? Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah siaga. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, tidak ada makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian.”

Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform dan itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala dipercaya memimpin transformasi.
Kebanyakan pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau mau bertahan hidup, Thariq dan para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni maju terus. Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara yang sarat politisasi. Kalau para karyawannya ingin bertahan hidup, mereka harus maju membenahi bersama.
Hanya itu pilihannya. Masalahnya, apakah para aktivis kebijakan publik mengerti bahwa mereka bisa dipakai kaum resisten untuk menaburkan peluru amarah mereka yang sedang kehilangan muka? Pilihannya hanya dua: bersekutu dengan the losers yang resisten atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi yang berujung kebaikan. Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan menjadi mahal, semua ada ongkosnya dan tentu saja ada tukang catutnya. []

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI | @Rhenald_Kasali on twitter             


*http://www.seputar-indonesia.com/analystofthemonth/perubahan-selalu-bising