Rudi (bukan nama sebenarnya) seorang siswa SMU. Bakat dan kecerdasannya sudah lama terlihat menonjol. Soal-soal matematika yang dianggap super sulit oleh siswa lain, dengan enteng bisa ia selesaikan. Begitu juga soal-soal pada mata pelajaran lain seperti fisika dan kimia.Bahkan, meski baru duduk di bangku kelas 1, pelajaran kelas 3 bisa ia urai dengan baik.
Karena prestasinya yang menonjol, Rudi lalu mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan di luar negeri pada sebuah negara maju dan berkembang. Karena metode pendidikan di tempat baru, ia menimba ilmu cukup baik, dan fasilitas yang tersedia juga serba lengkap, di sana ia makin memperlihatkan prestasinya.
Di sana Rudi berhasil melakukan inovasi dan temuan-temuan baru yang mengejutkan dan sangat bermanfaat. Alhasil negara pemberi beasiswa menawarkan agar Rudi bekerja di sana dan menjadi warga negara tersebut.
Kisah seperti di atas cukup sering ditemukan, banyak putra/putri Indonesia berbakat menyelesaikan studinya di luar negeri, berprestasi di sana,bekerja di sana, lalu menjadi warga negara setempat, atau memperoleh izin menetap (permanent residence) di sana, mereka tidak kembali lagi ke tanah air.
Mereka menjadi aset negara tersebut, menciptakan inovasi dan penemuan-penemuan baru di sana.
Pada berbagai pelosok Indonesia banyak sekali putra/putri cerdas dan berbakat yang bisa diibaratkan permata terpendam yang belum diasah. Mereka cerdas, memiliki bakat, namun tidak memperoleh wadah agar potensi mereka
tersebut teraktualisasi secara optimal.
Awalnya, karena latar belakang itulah gagasan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) diapungkan.
Siswa/pelajar yang memiliki bakat dan kecerdasan lebih dibanding rata-rata, diberikan perlakuan khusus sehingga potensi mereka bisa dikembangkan secara optimal.
Mereka ditempatkan dalam satu kelas khusus dan mendapat beban pelajaran yang berlebih dibanding kelas biasa. Tentu saja pelajar/siswa dengan kemampuan rata-rata, akan kewalahan jika hal yang sama juga dilakukan pada mereka.
Lalu, dalam pelaksanaannya timbul beberapa friksi yang menimbulkan protes masyarakat. Di beberapa tempat RSBI digugat menarik pungutan terlalu besar sehingga tidak membuka kesempatan bagi warga miskin namun juga cerdas dan berbakat untuk juga menimba ilmu di sekolah RSBI.
Namun tidak semua RSBI melakukan hal serupa, banyak RSBI, termasuk yang berada di Sumatra Barat yang tidak melakukan pungutan macam-macam dan berlebihan sehingga tetap bisa diakses masyarakat kurang mampu.
Selain itu, RSBI dianggap melunturkan rasa nasionalisme karena mengajarkan bahasa Inggris dan menggunakan bahasa negeri pangeran Charles tersebut sebagai bahasa pengantar.
Penggunaan istilah internasional pada SBI/RSBI dikuatirkan dapat melahirkan out put pendidikan nasional yang lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia.
Karena alasan tersebut sejumlah masyakat melakukan judicial review pada 28 Desembes 2011. Lalu pada 8 Januari 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para penggugat tersebut, lalu mencabut pasal 50 ayat 3 Undang-undang no 20 tahun 2003, yang bunyinya, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.
Dengan demikian, SBI/RSBI berakhir sudah. Kita tentu sangat menyayangkan jika niat baik untuk mengangkat potensi anak bangsa ini buyar begitu saja dan kita kehilangan wadah untuk menggembleng generasi pilihan berbakat yang sangat dibutuhkan bangsa ini di masa datang. Seperti kata pepatah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga, gara-gara perbuatan segelintir oknum, buyar harapan seluruh bangsa.
Bagaimanapun, kita menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi, namun kita berharap masih ada wadah lain yang bisa mengakomodir putra/putri Indonesia yang cerdas dan berbakat.
Tentu kita juga berharap wadah tersebut dikelola dengan baik dan tidak terulang lagi ekses-ekses yang membuat masyarakat murka dan kembali melakukan gugatan.
Tentu saja, itu tidak berarti sekolah reguler tidak mendapat perhatian. Sekolah reguler tetap mendapat perhatian yang sama dari pemerintah, karena bukan tidak mungkin dari sekolah reguler juga muncul kader-kader bangsa yang potensial dan cerdas yang karena sesuatu hal potensi mereka terlambat muncul ke permukaan. (*)
Singgalang 16 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar