Assalamualaikum.
Semoga Allah memberikan kepada ana kemudahan untuk memahami Din ini.. Tulisan
ini ana tulis ketika terjadi diskusi dengan beberapa orang yang mengamini bahwa
partai itu bid’ah. Sehingga berpartai adalah perbuatan haram yang tidak ada
aturannya dalam Islam. Diskusi yang sehat insya Allah menurut ana, karena masih
berada dalam koridor tanawwu’ (Variasi) pendapat dalam Islam yang dibolehkan.
Ikhwati Fillahi Rahimakumullah, Urusan bangsa ini ternyata lebih banyak dari
apa yang pernah kita bayangkan. Ada masalah, ada orang yang berusaha
menyelesaikan masalah, namun ada juga orang yang berusaha memperkeruh masalah
dan menambah beban umat, maka semoga janganlah ada diantara kita menjadi orang
dengan pilihan terakhir..
Perjuangan di Parlemen yang dilakukan oleh para saudara-saudara kita adalah
sebuah ijtihad yang bertujuan untuk melawan kemaksiatan dengan cara
mempengaruhi pembuatan kebijakan,undang-undang dan peraturan bangsa ini, Ini
adalah sebuah ijtihad dengan harapan bahwa efek yang akan ditimbulkan dari
undang-undang yang diciptakan nanti akan berdampak dominan dan positif terhadap
kehidupan masyarakat. Maka ini adalah tujuan yang mulia yang
seharusnya kita berikan simpati terhadapnya, perjuangan mereka sebagaimana yang
telah Allah sampaikan didalam Al-Quran al-Karim:
“Dan hendaklah ada
di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung”(Qs.Ali-Imran:104)
Namun
dalam tulisan ini ana mencoba untuk menjelaskan dan memberi gambaran tentang
hubungan antara Dakwah di parlemen (Berpartai) dengan Bid’ah. Apakah berpartai
itu termasuk bid’ah.?
APAKAH DASAR HUKUMNYA BID’AH?
Didalam Al-Qur’an Allah Swt telah berfirman
"Katakanlah: 'Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raf: 33)
"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan oleh
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.' Katakanlah:
'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?'" (Yunus: 59)
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariahkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?..." (as-Syura: 21)
Sedangkan Rasulullah telah mengatakan "Jauhilah, hal-hal baru dalam urusan
agama, karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan” (Diriwayatkan oleh
Ahmad ) Dan Juga "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami,
dan ia tidak ada dalam ajaran kami, maka sesuatu itu tidak diterima."(
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
APAKAH PARTAI ADALAH BID’AH?
Tapi apakah Bid’ah itu?Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,"Bid’ah dalam
agama adalah perkara wajib maupun sunnah yang tidak Allah dan rasul-Nya
syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah
maka diketahui dengan dalil-dalil syariat, dan ia termasuk perkara agama yang
Allah syariatkan meskipun masih diperslisihkan oleh para ulama. Apakah sudah
dikerjakan pada jaman nabi ataupun belum dikerjakan”.
Sedangkan Imam Syatibhi mendefinisikan Bid’ah adalah “Satu jalan dalam agama
yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya
bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah".
Dan adapun Ibnu Rajab berkata,"Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara
yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat
maka bukan bid’ah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa"
Sedangkan Imam Suyuthi Beliau berkata,"Bid’ah adalah sebuah ungkapan
tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu
perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat".
Dari definisi-definisi bid’ah yang dikemukakan para ulama diatas maka kita akan
dapat mengambil kesimpulan, bahwa Bid’ah adalah sesuatu perkara yang baru dalam
islam, yang tidak memiliki landasan syar’I dan bid’ah adalah tercela.
Lalu ada pertanyaan,”setiap hal yang baru adalah bid’ah,maka apakah naik
kendaraan bermotor ke masjid atau membuat pesawat terbang juga termasuk dalam
perkara bid’ah karena tidak ada nash yang khusus tentangnya juga Rasulullah
tidak pernah melakukannya (mengendarainya)”?
Untuk memudahkan
memahaminya, ada sebuah kaidah yang harus kita pegang bersama bahwa “Hukum asal
dari ibadah adalah haram hukumnya, kecuali yang disyariatkan. sedangkan hukum
asal dari muamalah adalah mubah hukumnya, kecuali yang diharamkan” sehingga
setiap perbuatan atau perkataan dalam hal ibadah yang diada-adakan adalah
haram.
Kemudian Yang dimaksudkan “menambah-nambahi dalam urusan kami” dalam hadits
diatas adalah menambah sesuatu dalam hal ibadah kepada Allah Swt yang tidak ada
syariatnya. Misalkan, Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sholat itu
disepakati oleh ulama dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam, Nah
kapankah bid’ah itu terjadi? Bid’ah itu terjadi ketika kita mewajibkan sesuatu
gerakan atau ucapan sebelum takbir dan juga setelah salam ke dalam praktik
ibadah sholat. Misalnya dengan menganggap bahwa berdoa
bersama setelah sholat adalah bagian dari sholat, padahal telah dimaklumi bahwa
sholat dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Lalu apakah partai termasuk bid’ah karena menambah-nambahkan sesuatu yang tidak
ada syariatnya? Pendapat ana adalah tidak begitu adanya, karena berpartai itu
masuk ke dalam wilayah muamalah, dan bukan wilayah ibadah yang dimaksud diatas.
Dan hukum asalnya muamalah adalah mubah, selama tidak ada nash yang mengharamkannya.
Kemudian ada pula yang mengatakan “Bukankah partai yang dibuat itu juga dengan
tujuan ibadah? Iya benar sekali, namun ibadah sebagaimana yang telah kita
maklumi terbagi atas ibadah maghdoh dan ibadah umum (Ghoiru maghdah), Ibadah
umum adalah setiap aktivitas keseharian yang kita lakukan dan meniatkannya
lillahita’ala. Contoh aktivitas keseharian yang bisa bernilai ibadah: seperti
makan dengan berdoa sebelumnya, pergi kentor untuk menafkahi keluarga, belajar
agar menjadi faham agama, bahkan berolahraga agar badannya sehat karena Allah,
dan juga berpartai (Atau berorganisasi apa saja) untuk menegakkan hukum Allah
melalui parlemen termasuk ibahad ghoiru maghdah. Sedangkan ibadah maghdoh itu
telah di tetapkan dengan jelas syariatnya seperti sholat, puasa, ataupun haji,
sehingga tidak boleh ditambah atau dikurangi ibadah maghdoh ini.
Apakah buktinya bahwa partai bukan termasuk ibadah maghdoh? Karena berpartai
bukanlah sebuah kewajiban ataupun sunnah yang disyariatkan, tetapi hanya sebuah
alat atau wasilah atau kendaraan yang digunakan. Bisa saja suatu saat untuk
memperjuangkan Hukum Allah di Indonesia metodenya berganti menjadi bukan
partai, semuanya tergantung kondisi yang ada. Dan partaipun adalah termasuk
dalam wilayah muamalah yang hukumnya mubah. Dan jika kita katakan bahwa partai
adalah bid’ah, maka setiap aktivitas keseharian kita yang dulu tidak pernah ada
adalah bid’ah, seperti komputer, internet, Hand Phone, dan lain sebagainya.
Sekiranya inilah pendapat kami yang semoga dapat memberikan manfaat kepada kita
semua, dan ini hanyalah pendapat dari kami yang lemah jua bodoh ”Innahu kaana
dhuluman zahula” Sesungguhnya manusia itu zalim dan bodoh.
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun
beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari
kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
banyak berbakti." (Qs.Ali Imran:193)
Kepada semua ikhwah, semoga
rahmat Allah selalu tercurah kepada antum semua. Tulisan ana ini bukan betujuan
membantah apalagi meremehkan pendapat saudara2 kita tentang demokrasi. Perlu
diketahui, silakan antum merujuk kepada kutubus sirah nabawiyah wa shahabiyah
yang shahih. Saat sampai pada pembahasan proses pengangkatan Abu Bakar dan Umar
ra, di sanalah masalah demokrasi ini bisa dijawab.
1. Pengangkatan Abu Bakar. Pada waktu detik-detik wafatnya Rasulullah saw,
beliau memegang tangan Abu Bakar, untuk dibaiat. Maka Umar bin Khatab memegang
tangan Abu Bakar diikuti oleh sahabat yang lain. Maka jadilah Abu Bakar sebagai
Khalifah. INI SYSTEM PENUNJUKAN LANGSUNG/KESULTANAN/KERAJAAN.
2. Pengangkatan Umar. Waktu itu karena kabilah-kabilah semakin banyak yang
masuk Islam, maka tidak mungkin seluruh kaum muslimin berduyun-2
menyalami/membaiat Umar, maka diwakililah oleh 7 orang dari pimpinan
kabilah-kabilah yang ada, lalu mereka berbaiat kepada Umar bin Khatab. INI
SYSTEM PERWAKILAN.
Padahal mereka adalah khulafaur-rasyidin al mahdiyyiin yang sunnahnya harus
dipegang teguh.
Berarti dalam Islam
ada System penunjukan dan ada system perwakilan. Dan system perwakilan inilah
yang disebut DEMOKRASI atau parlemen seperti Pemilihan Anggota Legislatif.
Mereka yang
mengatakan demokrasi bukan dari Islam, sebenarnya perlu membaca kitab-kitab
hadits dan shirah sahabat lebih banyak lagi, tidak asbed (asal beda). Lihat
dalam Kitab shahih Muslim dalam kitaabul imaarah dan bab-bab yang berkenaan
dengan detik2 akhir kehidupan Rasulullah saw fi kitab haji wada'. Bacalah
secara tuntas dalam syarah Bukhari Lil Ibnil Hajar al ats-qalani dan syarah
nawawy lil muslim dan kitab2 shirah tentunya.
Tentang 1 org punya
hak pilih satu orang, suara 1 ustadz=suara 1 maling, ini sama sekali tidak
menjadi masalah.
Imam Bukhari beliau
menyitir Bab Khusus yang sangat familiar di kalangan ahli hadits, Tentang
Pemenangan dakwah yang didukung oleh orang-orang fajir. Ceritanya panjang,
intinya, ada seorang fajir "bukan mujahidin" yang tiba-tiba merasa
terpanggil jiwanya untuk ikut berperang melawan kaum musyrikin, maka dia
mengangkat pedang dan membunuh banyak lawan, samapi dia meregankan nyawa
terakhirnya. Jadi, siapapun warga negara Indonesia yang ikut memilih wakil
rakyat yang shalih, lalu menang, maka kontribusi mereka akan sangat bermanfaat
buat seluruh umat. Jadi tak dapat diartikan kebalikannya, "gara-gara si
fajir ikut-ikutan nyoblos, dakwah jadi nggak berkah". Ini pemaknaan konyol
laa ashlaa lah min ushuulid-diin.
Marilah kita berfikir waras, seandainya partai2 Islam berhenti berpolitik,
kemudian diserahkan saja urusan politik negeri ini kepada "mereka yang
syahwat politiknya busuk", dari para penipu rakyat, maka akibatnya sungguh
sangat besar, karena sebagaimana kita berjuang di jalan Allah, menginginkan
maslahat dan rahmat Islam, mereka juga berjuang di jalan thaghut dan
memberangus syiar-2 Islam.
Bagi saudaraku yang
membid'ahkan berpolitik, lalu membiarkan, meninggalkan bahkan memerangi para
pejuang parlemen bighairi 'ilm, DEMI ALLAH, saya berlepas diri dengan juhala
itu.
DEMI ALAH, jika gara-gara GERAKAN GOLPUT mereka partai yang memperjuangkan
aspirasi islam dan kaum muslimin KALAH, lalu kebijakan-2 yang terjadi adalah
kebijakan "laisa minal islam", dan cenderung melawan hukum Allah,
MAKA MEREKA TERMASUK DURI DALAM PERJUANGAN ISLAM, MEREKA PENGHALANG DAKWAH
BESAR, KITA SERAHKAN KEPUTUSANNYA KEPADA ALLAH YANG MAHA AGUNG. BIARLAH
ALLAH YANG AKAN MENGADILI MEREKA KELAK.
BERJUANG DI PARLEMEN
SEKARANG ini adalah KENISCAYAAN. Mereka yang picik wawasan sungguh tidak
mengerti bahwa sekarang tengah terjadi peperangan besar dalam hal
"pengesahan UU kebijakan". Contoh : UU Kebijakan tentang larangan
pornograpi yang sekarang tengah digodok, banyak menuai kecaman, hambatan, dan
serangan yang sangat dahsyat dari kaum zindik dan kuffar agar perencanaan
pengesahan UU itu dibatalkan.
Nah, saat-saat
seperti dimanakah mereka yang berteriak lantang membid'ahkan parlemen?!
Ternyata mereka sama sekali tak mampu berbuat apapun menghadapi ini semua,
sebab yang sedang berperang adalah mereka yang di parlemen, jadi mustahil kalau
tidak ada wakil, kita bisa menyalurkan aspirasi bukan?! Cukuplah samapi di sini
kelucuan dan keluguan memahami Islam secara tekstual.
Dimanakah akal mereka
yang diberikan oleh Allah untuk berfikir itu?! Yaa Allah..jika perjuangan ini
tidak Engkau ridhai, kami tidak tahu, apakah mereka yang berdiam diri sambil
berteriak menonton peperangan itukah yang Engkau ridhai?! Yaa Allah, apapun
yang terjadi, kami ingin membuat Engkau tersenyum yaa Rabb...
Seruan
Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen
Apa komentar para
ulama tentang masuknya kader-kader dakwah ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid'ahkannya?
Sebagaimana yang banyak kita dengan dari pengikut-pengikut ulama tersebut.
Ternyata anggapan
yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak
ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh
dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu
jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi
wajib.
Di antara para ulama
yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat
parlemen antara lain:
- Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
- Muhammad Rasyid Ridha
- Syeikh Abdurrahman Bin Nashir
As-Sa'di: Ulama Qasim
- Syeikh Ahmad Muhammad Syakir:
Muhaddis Lembah Nil
- Syeikh Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithi
- Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz
- Syeikh Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin
- Syeikh Muhammad Nashiruddin
Al-AlBani
- Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
- Syeikh Abdullah bin Qu'ud
- Syeikh Dr. Umar Sulaiman
Al-'Asyqar
- Syeikh Abdurrahman bin Abdul
Khaliq
Kalau diperhatikan,
yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka
pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang dikira
sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi,
Shalih Fauzan dan lainnya?. Inilah penjelasan mereka:
1.
Pendapat Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz
a. Fatwa Pertama
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar
syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para
da'i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:
«إنما الأعمال
بالنيات، وإنما لامرىء مانوى»
Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya.
Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak
ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran
serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah
kepada Allah SWT.
Begitu juga tidak ada
masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da'i yang shalih dan
mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.
b. Fatwa Kedua
Di lain waktu, sebuah
pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib
melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana
aturannya?
Beliau menjawab bahwa
dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi
munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan hikmah, uslub yang baik,
perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada
Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.
Lebih jauh beliau
menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa
berlaku kasar, arogan, mencela atau ta'yir melainkan dengan kata-kata yang
baik.
Dengan mengatakan
wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai
saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini
dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah
SWT:
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
(النحل: 125ا)
Serulah kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).
Ini adalah jalan
Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:
فَبِمَا رَحْمَةٍ
مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا
مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
(ال عمران: 159)
Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)
Dan tidak merubah
dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubah isteri dan
anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi
bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya
kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.
c. Fatwa Ketiga
Majalah Al-Ishlah
pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi
Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan du'at ke DPR,
parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan
syariat Islam. Bagaimana aturannya?
Syaikh Bin Baz
menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau
sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang
punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia
kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta,
maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran
dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang
bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga
itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.
Bila dia masuk dengan
niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada
kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah
SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat
itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.
Namun bila
motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak
diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela
kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini
memberinya ganjaran yang besar.
d. Fatwa Keempat
Pimpinan Jamaah
Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah
bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi'ul Akhir 1415 H. Teks
pertanyaan beliau adalah:
Dari Muhammad Hasyim
Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada
Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan
Ketua Hai'ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta'.
Assalamu 'alaikum Wr.
Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan
Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan
dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk
kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam
aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana
dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
Jawaban Seikh Bin
Baz:
Wa 'alaikumussalam wr
wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal
itu. Allah SWT berfirman,"Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan."
Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT
berfirman,"Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan."
Waffaqallahul jami' lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.
Bin Baz
2. Wawancara dengan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pada bulan Oktober
1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih
Al-'Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan
umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar
masalah hukum masuk ke dalam parlemen.
Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk
ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat
Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?
Syaikh Al-'Utsaimin :
Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam
pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah
(perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan.
Dalam hal ini bila
dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun
penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada
pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau
tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik.
Sedangkan membiarkan
kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari
tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti
itu.
Majalah Al-Furqan :
Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Ada
yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi
perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih
Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?
Syaikh Al-Utsaimin:
Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita
di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan
lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas
syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga
ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya
buat ikhwan di Kuwait.
Pada bulan Zul-Hijjah
1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara
kembali dengan Syaikh Utsaimin:
Majalah Al-Furqan:
Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-'Utsaimin:
Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila
seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan
kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka
akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'.
Sedangkan masalah
sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk
menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua
amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang
diniatkannya.
Namun tindakan
meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah
perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah,
seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan
katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah
sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan
seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar menguasai
masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia
punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi,
hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan
kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)
Jadi kita memang
perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal
tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya
yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya
Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua
dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan
menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.
3. Pendapat Imam
Al-'Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam kitab Qawa'idul
Ahkam karya Al-'Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada
sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang
yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah
merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak
mafsadah. Karena menunda mashlahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal
yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak
terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada
orang yang memang memenuhi syarat.
Dari penjelasan di
atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan
di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk
merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolak mafsadah
jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa
dijalankan, maka tidak ada larangan secara syar'i untuk memangku jabatan meski
di bawah pemerintahan kafir.
Kasus ini mirip
dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai
anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendapat
beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen
diperbolehkan.
4. Pendapat Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah
Dalam kitab Thuruq
Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq
al-Hukmiyah menulis:
Masalah ini cukup
pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati
batas, menghilangkan hak-hak,dan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan
serta menjadikan syariat itu sempit sehingga tidak mampu memberikan jawaban
kepada pemeluknya dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu
jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal
tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu
adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan
dengan qowaid syariah.
Mereka mengatakan
bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa Rasulullah, yang menjadikan mereka
berpikir seperti itu kurangnya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan
kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan
melihat orang-orang melakukan hal yang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka
melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar maka permasalahannya
jadi terbalik.
Di sisi lain ada
kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah dan rosulnya.
Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa rosulnya
dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus rasulnya dan
menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu
bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan
wajahnya tampil dengan beragam cara maka itulah syariat allah dan agamanya.
Allah swt Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan
memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya
keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan
agama.
Maka tidak boleh
dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya
justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itu sendiri. Kami
menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang anda buat tetapi
pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan rosulnya.
Imam yang muhaqqiq
ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian
dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa
apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari
politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang
menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan
syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah
pemerintahan kafir.
5. Syaikh Dr. Shalih
bin Fauzan
Syekh Shaleh Alfauzan
ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, "Apa
itu parlemen?" Salah seorang peserta menjawab "Dewan legislatif atau
yang lainnya" Syekh, "Masuk untuk berdakwah di dalamnya?" Salah
seorang peserta menjawab, "Ikut berperan serta di dalamnya" Syekh,
"Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?" Peserta, "Iya."
Syeikh: "Apakah
dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum
muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan
memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka
ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi
kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika
tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit."
Salah seorang
peserta, "Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah
perkara dari manusia."
Syeikh: "Tanazul
yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?"
Salah seorang
peserta, "Mengakui."
Syeikh: "Tidak
boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia
meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak
dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap
hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika
memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak
menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?
Tidak mungkinkan
untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa
hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi
Yusuf as?
Atau kalian tidak
tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika
raja berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercaya disisi kami" Nabi Yusuf saat itu
menjawab, "Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan
pandai." Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia
menjadi raja Mesir, sekaligus Nabi.
Jadi bila masuknya
itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar
menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian
juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak
dibenarkan. Para ulama berkata, "Mendatangkan manfaat dan
menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan
mafsadat yang lebih besar."
Para ulama mengatakan
bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta
menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan
semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu
yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil
yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam
atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi
kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang
dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski
tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata "Tujuan
saya mulia, saya berdakwah kepada Allah," tidak boleh itu."
Salah seorang
peserta, "Apa yang menjadi jalan keluarnya?"
"Jalan keluarnya
adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak
menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan.
Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal
tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka
hal tersebut tidak diperbolehkan" (Rekaman suara)
6. Syaikh Abdullah
bin Qu'ud
Sebagian orang-orang
meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negara-negara
Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut
didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda
tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum
muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?
Jawaban : Akar
persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang
lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari
malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk
saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya,
ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.
Dan jika hal tersebut
tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan
memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang
nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian
dan siksaan.
Dan kita wajib
mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di setiap tempat.
Karena seorang mukmin adalah saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar
kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri
mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata:
يَا
لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا (النساء : 73)
"Wahai kiranya saya ada bersama-sama
mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar"
(QS. An-Nisaa: 73).
Dan apa bila
mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk
saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah
melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi
kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya.
Jangan sampai ada seseorang
yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang
atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan
keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan
tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika anda tidak
merespon dengan perasaan anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang
mengalami ujian dari Allah..
Demikian petikan
beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen
dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.
Mengedepankan Saling
Hormat
Lepas dari polemik
yang tidak ada habisnya itu, maka akan menjadi manis rasa perbedaan itu
seandainya semua tetap dihiasi dengan akhlaq, adab Islami, husnudzhzan,
cinta kepada sesama muslim, dan toleransi.
Sebab perbedaan dalam
memlih teknis berdakwah ini sampai hari kiamat tidak akan ada habisnya. Sampai
ada teman yang senangnya mikirin hari kiamat saja sambil menanti-nanti kapan
Imam Mahdi datang.
Kalau ada teman kita
yang asyik dengan dakwah di parlemen dan mungkin kita tidak setuju, tentu tidak
pada tempatnya untuk kita caci maki atau kita jatuhkan citranya di muka umum.
Sebaliknya, kalau
kita termasuk yang punya semangat empat lima mendukung dakwah lewat partai,
tidak ada salahnya kita bertenggang rasa dengan kalangan yang agak kurang
mendukung dakwah model partai. Jangan kita vonis sebagai pembangkang atau
pengkhiatan dulu, sebab boleh jadi yang terjadi adalah macetnya jembatan
komunikasi.
Setidaknya kalau
tidak bisa bersatu, tapi tidak harus saling ejek, saling caci, saling benci,
saling jegal dan saling menjatuhkan. Sebab biar bagaimana pun kita ini
bersaudara. Dan harga persaudaraan itu jauh lebih berharga dari semua yang akan
kita capai. Persaudaraan itu nikmat yang Allah SWT karuniakan, maka syukurilah
nikmat bersaudara itu.
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (ال عمران :
103)
Dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat persaudaraan dari
Allah itu menjadi orang-orang yang bersaudara (QS.
Ali Imran: 103)
Alangkah tragisnya
kalau sesama saudara sendiri kita malah saling melontarkan dugaan yang kurang
pantas. Bukankah Allah SWT telah melarang kita dari perbuatan keji itu?
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَحِيمٌ (الحجرات : 12)
Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka
itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Hujuran: 12)
Tanpa sadar terkadang
majelis kita lebih sering jadi majelis pergunjingan, misalnya tentang si Fulan
yang dulu keredan sekarang naik mobil mewah karena jabatannya. Atau
tentang si Fulan yang dulu mau nikah saja teman-temannya harus patungan, tapi
sekarang lagi asyik memanjakan isteri mudanya jalan-jalan ke luar negeri.
Dan kalau mau diusut
ke sana kemari, rasanya kok sumber segala masalah itu kembali ke harta. Jadi
tidak salah kalau Allah SWT berfirman:
Dan ketahuilah, bahwa hartamu
dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar. (QS.
Al-Anfal: 28)
Rereferensi:
Hukum Coblos dalam Pemilu (1)
Ketika
menghadapi masa-masa Pemilu baik pemilihan kepala negara maupun kepada daerah,
sebagian kita kebingungan. Karena ada yang menyuarakan tidak bolehnya hal ini
dengan sikap keras dan ngotot. Namun sebagian ulama bahkan memandang tetap
harus nyoblos dengan memandang maslahat dan mudhorotnya. Oleh karena itu dalam
beberapa seri ke depan. Kami akan mengetengahkan tema ini dengan mengangkat
dari beberapa fatwa ulama terpercaya. Untuk saat ini kita akan melihat fatwa
ulama yang membolehkan nyoblos dalam pemilu karena menimbang maslahat di
dalamnya. Di antara ulama yang berpendapat boleh bahkan sampai menganggap wajib
adalah Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin.
[1]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah-, ulama besar Saudi Arabia
yang meninggal dunia 12 tahun yang lalu (1421 Hijriyah)
Dalam
muhadhoroh beliau yang disadur dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh pada pertemuan
ke-211, Syaikh rahimahullah pernah ditanyakan:
Apa
hukum Pemilu saat ini di Kuwait? Padahal telah diketahui bahwa mayoritas
aktivis Islam dan para da’i yang masuk parlemen nanti akan tertimpa musibah
dalam agamanya. Juga –wahai Syaikh-, apa hukum pemilu anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Tingkat Daerah (DPRD) yang ada di Kuwait?
Jawab:
Aku
menilai bahwa hukum mengikuti pemilu adalah wajib. Kita
wajib memilih caleg yang kita lihat ada tanda-tanda kebaikan pada dirinya.
Alasannya, karena apabila orang yang baik-baik tidak terpilih, lalu siapa yang
menguasai posisi mereka? Pasti orang-orang yang rusak atau orang-orang polos
yang tidak ada pada mereka kebaikan, tidak pula kejelekan, yang condong
mengikuti ke mana angin bertiup. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memilih
caleg yang kita anggap sholeh.
Jika
ada yang mengatakan: Kita telah memilih satu orang yang sholeh. Akan tetapi
kebanyakan anggota DPR bukan orang-orang yang sholeh.
Kami
katakan: Tidak mengapa. Satu anggota dewan ini jika Allah berkahi dan
menyuarakan kebenaran di DPR tersebut, maka satu anggota dewan ini pasti akan
memberikan pengaruh. Namun yang jadi masalah adalah kita kurang tulus pada
Allah. Kita hanya mengandalkan hal-hal yang konkret saja. Kita tidak merenungi
firman Allah Ta’ala.
Apa
komentar anda dengan kejadian yang dialami Nabi Musa ‘alaihis salam ketika
Fir’aun membuat janji agar bertarung denga seluruh tukang sihirnya? Akhirnya
Nabi Musa pun berjanji akan bertemu pada waktu Dhuha (siang hari, bukan malam)
di hari zinah (hari ‘ied, dinamakan demikian karena orang-orang biasa berhias
pada hari tersebut). Mereka pun berkumpul di tanah lapang. Seluruh penduduk
Mesir akhirnya berkumpul. Lalu Musa berkata kepada mereka (yang artinya),
“Celakalah kamu, janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, maka
Dia membinasakan kamu dengan siksa”. Dan sesungguhnya telah merugi orang yang
mengada-adakan kedustaan.” (QS. Thaha: 61). Hanya dengan satu kalimat, jadilah
bom yang dahsyat. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya (yang artinya), “Maka
mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka.” (QS. Thaha:
62). Huruf fa’ (fatanaza’u) dalam ayat ini menunjukkan urutan tanpa ada selang
waktu dan menunjukkan sebab. Ketika Musa menyebutkan kalimat tersebut, maka
jadilah mereka berbantah-bantahan. Dan jika manusia saling berbantah-bantahan
(berselisih), mereka akan menjadi lemah (tidak punya kekuatan). Hal ini
sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi lemah.” (QS. Al Anfaal: 46).
Dan juga firman-Nya, “Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di
antara mereka dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).” (QS. Thaha: 62).
Akhirnya, para tukang sihir tadi yang semula adalah musuh Musa, sekarang
menjadi teman akrab. Mereka pun tersungkur sujud pada Allah. Mereka pun
mengumumkan (yang artinya), “Kami telah beriman kepada Tuhan Harun dan Musa.”
(QS. Thaha: 70). Mereka berani mengatakan demikian sedangkan Fir’aun berada di
hadapan mereka. Lihatlah hanya dengan satu kalimat kebenaran dari satu orang di
hadapan sejumlah orang yang begitu banyak dan dipimpin oleh penguasa yang
paling sombong ternyata bisa menimbulkan pengaruh.
Aku
katakan: Walaupun dalam parlemen hanya ada sedikit orang baik, nantinya mereka
akan bermanfaat. Namun wajib bagi mereka untuk tulus pada Allah.
Adapun
pendapat: Tidak boleh masuk dalam parlemen karena tidak boleh bagi kita
berserikat dengan orang-orang fasik (yang gemar bermaksiat). Jadi, tidaklah
boleh duduk-duduk bersama mereka. Apakah kami katakan: Kami duduk untuk
menyetujui pendapat mereka? Jawabannya: Kita duduk dengan mereka, namun kita
menjelaskan kebenaran kepada mereka.
Sebagian
ulama yang merupakan saudara kami mengatakan: Tidak boleh ikut serta dalam
parlemen. Alasannya, karena orang yang istiqomah dalam agamanya duduk dengan
orang yang memiliki banyak penyimpangan. Apakah orang yang istiqomah ini duduk
untuk ikut menyimpang ataukah dia dapat meluruskan yang bengkok?! Jawabannya:
Tentu untuk meluruskan yang bengkok dan memperbaikinya. Jika sekali ini dia
gagal untuk meluruskannya, maka nanti dia akan berhasil pada kesempatan kedua.
Penanya
bertanya kembali:
Bagaimana
dengan pemilu untuk DPRD –wahai Syaikh-?
Jawab:
Semua jawabannya sama, selamanya. Pilihlah caleg yang dianggap baik. Lalu
bertawakallah pada Allah.
[Liqo’
Al Bab Al Maftuh, 211/13, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah-Asy Syamilah]
[2]
Syaikh Kholid Mushlih –hafizhohullah-, murid sekaligus menantu Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al Utsaimin
Syaikh
Kholid Mushlih hafizhohullah ditanya:
Assalamu’alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh. Fadhilatusy Syaikh, barangkali engkau mengetahui
bahwa sebentar lagi akan berlangsung pemilihan Presiden (Pemilu) di Perancis.
Apakah boleh kaum muslimin mengikuti pemilu tersebut (maksudnya: menyumbangkan
suara)? Perlu diketahui bahwa seluruh calon pemimpin yang ada adalah non
muslim.
Jawab:
Bismillahir
rahmanir rahim. Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Amma ba’du.
Suatu
hal yang diketahui oleh setiap orang yang berilmu dan pandai berpikir bahwa
syari’at Islam yang berkah ini selalu ingin mendatangkan kemaslahatan bagi
setiap hamba dalam agama dan dunia mereka, juga mewujudkan maslahat di dunia,
tempat mencari penghidupan dan akhirat tempat mereka kembali. Syari’at ini,
semuanya bertujuan untuk semata-mata mewujudkan murni maslahat atau maslahat
yang lebih dominan, juga untuk menihilkan mafsadat (kerusakan) atau
meminimalkannya. Hal ini dapat disaksikan pada setiap hukum baik dalam masalah
ushul (menyangkut aqidah atau keimanan) maupun furu’ (hal-hal selain ushul).
Kapan saja didapati maslahat murni atau pun maslahat yang lebih dominan, maka
Allah pun akan mensyari’atkannya.
Oleh
karena itu, ketika kaum muslimin yang berada di negeri barat itu sudah
merupakan bagian dari masyarakat yang ada, maka mereka memiliki berbagai hak.
Maslahat internal maupun external tidak mungkin tercapai melainkan dengan ikut
serta dalam kancah politik baik dengan mencoblos dalam pemilu dan pencalonan
pemimpin. Menurutku, tidak diragukan lagi bahwa hal ini dibolehkan karena
terdapat pengaruh dan manfaat yang begitu besar. Hal ini juga bisa menghilangkan
mudhorot (bahaya) bagi kaum muslimin yang ada di dalam maupun di luar negeri.
Dengan ini semua akan tercapai pengaruh besar yang dapat mewujudkan maslahat
dan mengamankan kepentingan kaum muslimin. Kebanyakan negara yang memiliki
hubungan multilateral berusaha untuk bisa punya suara dan pengaruh untuk bisa
mewujudkan kepentingan dan menjaga maslahat mereka. Oleh karena itu, kaum
muslimin janganlah meninggalkan hal yang dapat menjaga kepentingan mereka dan
menguatkan suara mereka serta melindungi komunitas mereka dengan segala macam
cara yang memungkinkan, lebih-lebih lagi dengan berkembangnya berbagai macam
partai dan pemahaman yang cenderung ekstrem serta memusuhi orang-orang yang
bukan pribumi secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Kepada Allah kami
memohon agar kita semua senantiasa mendapat taufik dalam kebaikan.
Saudara
kalian,Dr. Kholid Al Mushlih 1/4/1428 [http://www.almosleh.com/almosleh/article_1111.shtml]