RUANG IKLAN

SILAKAN BERIKLAN DI BLOG SAYA.

Ruang Iklan

Space ini bisa Anda gunakan untuk mengiklankan produk Anda

BUKU KOMPUTER AKUNTASNSI ACCURATE ONLINE

SETUP AWAL DATA BASE- INPUT TRANSAKSI-PENYAJIAN LAPOAN KEUANGAN

Tampilkan postingan dengan label PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Juli 2016

MODUL AKUNTANSI DAN RPP KURNAS

Bagi bapak/ibu guru akuntansi ..alhamdulillah atas kebaikan dari para penulis modul guru pembelajar..saya share modul akuntansi guru pembelajar dan contoh RPP yang sesuai dengan permendikbud terbaru terkait kurnas.
Silakan downlod di MODUL AKUNTANSI DAN RPP KURNAS

Rabu, 18 Desember 2013

Apa yang dimaksud dengan critical review?



Critical review bukan sekedar laporan atau tulisan tentang isi sebuah buku atau artikel, tetapi lebih menitikberatkan pada evaluasi (penjelasan, interpretasi & analisis) kita mengenai keunggulan & kelemahan buku atau artikel tersebut, apa yang menarik dari artikel tersebut, bagaimana isi artikel tersebut bisa mempengaruhi cara berpikir kita & menambah pemahaman kita terhadap suatu bidang kajian tertentu.

Dengan kata lain, melalui critical review kita menguji pikiran pengarang/penulis berdasarkan sudut pandang kita berdasarkan pengetahuan & pengalaman yang kita miliki. Maksud pemberian tugas kuliah berupa critical review ini adalah untuk mengembangkan budaya membaca, berpikir sistematis & kritis, dan mengekspresikan pendapat (Rosen, 2006: 325).

Bagaimana memulai untuk membuat critical review?
Untuk bisa membuat sebuah critical review, kita harus terbiasa untuk berpikir kritis. Dengan berpikir kritis berarti kita mengontrol proses berpikir secara sadar (Troyka, 2006:115). Hal ini sama seperti ketika kita bertemu dengan teman baru, kemudian kita memutuskan apakah kita menyukai orang tersebut apa tidak (Troyka, 2006:117). Menurut Troyka (2006:117), proses berpikir kritis terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

  1. merangkum (menyatakan kembali);
  2. menganalisis (menggali informasi tersirat);
  3. mensistesiskan (menghubungkan apa yang telah dirangkum dan dianalisis dengan pengetahuan dan pengalaman kita);
  4. mengevaluasi (membuat penilaian). Tahapan inilah yang diterapkan pada saat kita melakukan critical review.

Membuat critical review sama dengan membuatsebuah essay pendek. Ada beberapa langkah yang harus kita lalui sebelum membuat critical review, yaitu:

  1. Memilih buku.
  2. Membaca kritis.
  3. Membuat kerangka
  4. Menulis

Memilih buku.
Idealnya kita memilih sendiri buku yang akan kita bahas berdasarkan minat kita terhadap bidang tertentu. Dengan menentukan pilihan sendiri akan memperlancar upaya kita untuk melakukan sebuah critical review, namun untuk sebuah tugas kuliah biasanya buku yang akan kita bahas sudah ditentukan. Hal ini bukan berarti menghalangi upaya kita melakukan critical review dengan baik.

Membaca kritis
Tentu saja setelah kita memilih buku atau mendapat buku yang ditugaskan, langkah berikutnya adalah membaca. Menurut Troyka (2006:125-126) membaca artikel atau buku dengan baik adalah membaca dengan kritis & sistematis, yaitu:
1)      Preview, sebagai perkiraan tentang apa yang akan kita baca untuk mempermudah proses membaca. Teknik scanning & skimming akan berguna pada tahap ini. Pada saat melakukan preview, cari informasi singkat dengan membaca daftar isi dan bab yang kita tuju secara cepat: dari keseluruhan daftar isi, kira-kira apa isi buku tersebut, apa hubungan antara bab sebelum dan bab sesudah dengan bab yang kita tuju, baca semua sub judul dan lihat semua gambar, tabel, dan penjelasan eksta untuk mendapatkan gambaran umum tentang isi bab yang kita tuju. Menurut Rosen (2006:69), tahap preview ini merupakan tahap membaca untuk memahami isi buku secara keseluruhan.
2)      Membaca secara dekat dan aktif.
Setelah melakukan preview pada bab yang kita tuju, langkah selanjutnya adalah membaca secara dekat dan aktif untuk lebih menggali informasi. Tahap membaca secara dekat dan aktif ini dinamakan tahap membaca untuk memahami struktur bahan bacaan yang akan kita bahas (Rosen, 2006:70). Hal ini dapat dilakukan dengan memberi catatan singkat di tepi halaman di samping paragraf yang kita baca.
3)      Membaca secara dekat (close reading); memberi catatan singkat mengenai isi (rangkuman) paragraf. Dengan kata lain kita mencari pikiran utama setiap paragraf.
4)      Membaca secara aktif (active reading); memberi catatan singkat tentang isi paragraf dikaitkan dengan pengetahuan atau pengalaman kita, atau hal-hal lain yang menarik perhatian kita yang berhubungan dengan isi paragraf.
5)      Review; membaca kembali untuk membandingkan apa yang kita baca pada langkah preview (a) dan membaca secara dekat dan aktif (b). Review berguna agar kita lebih memahami bahan bacaan. Oleh karena itu sebaiknya review dilakukan berkali-kali dan upayakan kita selalu menambah materi active reading.

Membuat kerangka (outline) dan menulis
Buat kerangka dan kembangkan menjadi tulisan berdasarkan panduan struktur critical review dan panduan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Apa saja yang dibahas dalam critical review?

Struktur sebuah critical review terdiri dari:
a)   Informasi bibliografi
Sebagai langkah pertama, selalu sajikan informasi mengenai artikel yang akan kita bahas (nama pengarang, tahun, judul artikel, bab dan judul bab yang dibahas, halaman, kota dan nama penerbit).
b) Pengantar (introduction)
Bagian pengantar biasanya berisi pembahasan umum mengenai topik artikel yang akan dibahas, esensi topik yang akan dibahas dikaitkan dengan isu yang lebih luas (disesuaikan dengan bidang kajian kita sebagai reviewer), dan penjelasan singkat mengenai struktur pembahasan critical review kita.
c)   Bagian utama (main body)
Pada dasarnya, ada 2 (dua) hal utama dalam sebuah critical review, yaitu: 1) merangkum — menyatakan kembali apa yang ada di dalam sebuah artikel dengan kata-kata kita sendiri, bukan menyalin ataupun menerjemahkan — ; 2) mengevaluasi.

1. Rangkuman
Pada bagian ini dinyatakan kembali topik pembahasan artikel, struktur dan metoda pembahasan yang digunakan oleh pengarang/penulis, fokus pembahasan dan argumen utama pengarang/penulis,contoh atau bukti pendukung, kesimpulan pengarang/penulis (pada tahap merangkum
kita baru menyajikan kesimpulan pengarang/penulis artikel, bukan kesimpulan
kita tentang artikel tersebut). Sebaiknya bagian rangkuman tidak lebih panjang
dari bagian evaluasi.

2. Evaluasi
Mengevaluasi bukan berarti mencari benar atau salah, tetapi menjelaskan kualitas artikel/buku yang dimaksud (keunggulan dan kelemahan). Semakin banyak kita membaca artikel/buku lain dengan topik sejenis akan memudahkan kita membuat penilaian. Beberapa contoh pertanyaan berikut dapat
digunakan sebagai panduan untuk mengevaluasi, yaitu:

  • Siapa pengarang/penulis artikel/buku tersebut? Apakah dia berkompeten dalam bidang kajian yang dibahas dalam artikel/buku tersebut?
  • Siapa target audience (peneliti, praktisi, mahasiswa) yang dituju dalam artikel/buku tersebut? Apakah artikel/buku tersebut sesuai dengan target audience yang dimaksud?
  • Apakah pertanyaan penelitian yang diajukan dalam artikel/buku tersebut menarik dan relevan?
  • Apakah pembahasan artikel/buku yang dimaksud disajikan secara detail, singkat, atau menyeluruh oleh pengarang/penulis?
  • Apakah metoda pendekatan yang digunakan oleh pengarang/penulis sudah sesuai? Jika tidak, mengapa? Kemudian, metoda pendekatan apa yang cocok?
  • Apakah gagasan yang diajukan pengarang/penulis cukup logis dan teratur? Apakah masih terdapat bias?
  • Bagaimana hubungan antar  gagasan yang diajukan oleh pengarang/penulis? Apakah disajikan secara naratif atau analitis?
  • Apakah contoh atau bukti pendukung yang diberikan oleh pengarang/penulis logis, faktual, dan cukup kuat mendukung pikiran utama atau masih sangat terbatas? Apakah contoh tersebut malah bertentangan? Pertimbangkan juga jenis contoh/bukti yang digunakan (data primer atau sekunder).
  • Bandingkan dengan artikel/buku lain dengan topik sejenis, apakah ada kesamaan atau perbedaan gagasan ataupun metoda pembahasan yang digunakan? Jelaskan kesamaan atau perbedaan tersebut.
  • Apakah pada bagian kesimpulan dijelaskan bahwa pengarang/penulis dapat mencapai tujuan yang dimaksud?
  • Apakah masih ada hal-hal yang belum dipertimbangkan pada bagian kesimpulan?
  • Apakah pengarang/penulis memberikan saran studi atau penelitian lanjut terkait dengan topik pembahasan?
  • Apakah artikel/buku tersebut juga mencantumkan ilustrasi, daftar pustaka ataupun indeks yang bermanfaat?


d)     Penutup (conclusion)
Sebagai penutup, buat evaluasi atau penilaian secara keseluruhan. Beberapa contoh pertanyaan berikut dapat digunakan sebagai panduan untuk memudahkan penilaian akhir, yaitu:

  • Apakah maksud dan tujuan pengarang/penulis tercapai?
  • Apakah pengarang/penulis bersifat subyektif atau obyektif dalam mencapai tujuannya?
  • Apakah pengarang/penulis mengabaikan informasi relevan terkait dengan topik pembahasan?
  • Apa esensi artikel/buku yang ditulis terhadap bidang keilmuan secara umum?
  • Apa manfaat artikel/buku yang ditulis terhadap mata kuliah yang bersangkutan? Apa pengaruh artikel/buku tersebut bagi kita sebagai reviewer?
  • Apakah ada saran dari kita untuk penelitian atau studi lanjut terkait dengan topik pembahasan?
  • Apakah kita sebagai reviewer akan membeli buku tersebut atau kita akan merekomendasikan artikel/buku tersebut kepada kolega atau teman kita?


sumber : ingkan.blog.friendster.com/2007/05/blajar-bikin-critical-review

Jumat, 29 November 2013

Latihan Soal UKG Akuntansi

Bagi para guru akuntansi yang akan mengikuti PLPG akuntansi silakan berbekal dengan baik. Saya sajikan contoh soal. Silakan download di link Soal Latihan UKG Akuntansi

Rabu, 20 November 2013

Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”

Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman civitas academica.

Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .
Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~
Pidato Erica tersebut juga dimuat di blog America dan mendapat tanggapan luas oleh publik di sana. Silakan baca di sini:http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html
Kalau ingin melihat video pidato Erica di Youtube, klik ini:atau masuk pada pranala berikut: http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts&feature=player_embedded#!

Senin, 18 November 2013

SKKNI AKUNTANSI 2013

Silakan download  SKKNI AKUNTANSI 2013
Semoga bermanfaat

Sabtu, 26 Oktober 2013

ARTIKEL TENTANG BSC DI SEKOLAH

Rabu, 23 Januari 2013

Rahasia Umur 40 tahun...


Umur 40 tahun adalah Usia yang matang bagi seseorang dalam berfikir dan bertindak oleh karena itu mudahlah dimengerti jika batas nasib seseorang ditentukan saat mencapai umur 40 tahun. Jika sampai pada umur tersebut orang tersebut masih saja berbuat dosa dan maksiat maka dipastikan orang tersebut telah memiliki Tiket ke Neraka karena Secara sadar ia sudah berfikir, mengerti dan paham bahwa perbuatan dosa dan maksiat yang ia lakukan adalah salah akan tetapi tetap  saja  maksiat masih  dilakukan.

Sebagai orang Islam akan mudah memahami hal ini karena , Allah sebagai pencipta manusia memberi perhatian khusus pada umur 40 tahun yaitu dalam Al-Quran Surat Al-Ahgaaf Ayat ke 15 yang artinya

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nimat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. 46:15) 

Dan seperti dikatakan oleh ulama yang sangat masyhur yaitu Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad : “Barangsiapa yang telah melampui usia 40 tahun sedangkan kebaikannya tidak dapat mengalahkan kejahatannya, maka hendaklah dia mempersiapkan dirinya untuk masuk kedalam Neraka”

Jadi sudah seharusnya bila seseorang pada umur 40 tahun untuk :
  1. Berbuat lebih baik kepada kedua Orang tua, karena atas perjuangannya kita bisa menjadi seperti sekarang ini.
  2. Mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita dengan banyak berbuat baik dan beramal saleh yg diridhoi oleh Allah SWT dan menambah amalan dalam beribadah.
  3. Bertaubat dan berserah diri yang artinya tidak berbuat dosa dan maksiat serta berserah diri bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah dan akan kembali lagi kepadaNya
Banyak hal-hal besar di dunia ini yang terjadi dan dikaitkan dengan Umur 40 tahun yang menjadi bukti akan misteri umur 40 tahun ini yaitu :
  1. Nabi Muhammad SAW dan kebanyakan nabi lainnya diangkat menjadi rasul tepat pada umur 40 tahun, Muhammad bin Abdullah dipilih untuk mengemban tugas besar dan tidak mudah, sehingga Nabi sendiri pada awalnya sempat ragu, apakah benar yang diterima di gua Hiro adalah wahyu, Tetapi sang isteri Siti Khadijah, yang teguh hati, menenangkan, menentramkan, menguatkan serta memastikan bahwa yang diterima benar wahyu dan beliau benar-benar diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
  2. Pada Usia 40 tahun Kolonel Sanders sang penemu resep masakan Ayam Goreng Kentucky Fried Chicken mulai memasak untuk orang yang singgah dibengkelnya di Corbin. Saat itu ia belum memliki restoran KFC dan sekarang KFC ada di hampir 80 negara.
  3. Pada Usia 40 tahun mulai ada keinginan yang Positif maupun Negatif. Positif untuk Maju dan Hidup lebih baik, tapi banyak juga pada usia ini justru punya keinginan yang Negatip seperti poligami tanpa ijin isteri, selingkuh dll
” Nasib Baik dan Buruk kita bukan tergantung pada orang lain tapi tergantung pada diri kita sendiri” Oleh karena itu bersegeralah untuk mengubah nasib kita baik di Dunia maupun di Akhirat dengan Warning : UMUR 40 TAHUN

Sesuai dengan Firman Allah dalam Surat. Aali-Imran ayat 133 :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (QS. 3:133) .

Kosongkan Cangkir Teh mu....


Di sebuah kerajaan, karena kesibukan sang raja memerintah, permaisurilah yang menemani dan sangat memanjakan sang pangeran. Pangeran tumbuh menjadi pemuda yang sombong, egois, kurang sopan santun, dan malas belajar. Raja sangat sedih memikirkan sikap pangeran muda. Bagaimana nasib negeri ini nantinya? Setelah berbincang dengan permaisuri, raja pun bertitah: "Anakku, tahta kerajaan akan ayah serahkan kepadamu, tetapi dengan syarat engkau harus tinggal dan belajar selama 1 tahun di atas bukit bersama seorang guru yang telah ayah pilih. Bila engkau gagal, maka tahta kerajaan akan ayah serahkan kepada orang lain."
Pangeran serta merta menyanggupi persyaratan itu. Dalam hati ia berkata, "Apalah artinya penderitaan 1 tahun dibandingkan kelak sebagai raja, aku bisa hidup mewah dan bersenang-senang seumur hidupku!" 


Setibanya di kediaman sang guru, tingkah laku pangeran tetap sombong, menyebalkan, dan tidak sopan. Dia merasa sebagai pangeran, semua orang harus menuruti kemauannya. Setiap kali gurunya bertanya, pangeran menjawab semaunya. Setiap kali gurunya menerangkan pelajaran, pangeran tidak mendengarkan-merasa sudah tahu semua.

Tidak terasa haripun berganti minggu. Sang guru berpikir keras tentang cara untuk memberi pelajaran kepada pangeran yang sombong dan sok pintar itu.
Suatu hari, sang guru menyeduh teh dan menuangkan ke cangkir pangeran. Air teh dituang terus dan terus hingga tumpah ke mana-mana sehingga mengenai tangan sang pangeran. Pangeran berteriak marah, "Hai, bodoh sekali! Menuang teh saja tidak becus! Cangkir sudah penuh mengapa masih dituang terus? Air mendidih, lagi!"
Dengan tersenyum sang guru berkata tegas, "Beruntung hanya tangan pengeran yang terkena percikan teh panas. Sebagai seorang pangeran, calon raja dan suri tauladan bagi rakyatnya, tidak sepantasnya berkata tidak sopan seperti itu, lebih-lebih kepada gurunya sehingga sepantasnya mulut pangeranlah yang harus dituang teh panas ini.
Guru sengaja menuang terus cangkir yang telah terisi penuh karena ingin mengajarkan kepada Yang Mulia bahwa cangkir teh diumpamakan sama seperti otak manusia. Bila telah terisi penuh maka tidak mungkin diisi lagi. Karenanya kosongkan dulu cangkirmu, kosongkan pikiranmu, agar bisa diisi hal-hal baru yang positif. Hanya bekal ini yang ingin guru sampaikan. Bila pangeran tidak berkenan, silakan pergi dari sini."
Mendengar perkataan sang gurunya yang tegas, pangeran seketika tertunduk malu. Peristiwa itu menyadarkan pangeran untuk mengubah sikapnya dan menerima pelajaran dari gurunya. Tentu saja perubahan sikap pengeran ini membuat raja sangat bergembira.
Teman-teman yang berbahagia,
Karena status, pendidikan, atau kedudukan, seringkali seseorang merasa lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih pintar dari orang lain. Sikap seperti ini membuat pikiran tertutup (atau mental block), sulit menerima hal-hal baru yang diberikan oleh orang lain.
Sikap seperti ini jelas merugikan dirinya sendiri. Jika kita bisa bersikap open mind / membuka pikiran dalam menerima hal-hal baru dan mau menerima kritikan yang diberikan oleh orang lain, maka kita akan dapat memetik banyak keuntungan; seperti bertambahnya wawasan, ide, pengetahuan, pengertian, wisdom, dan lain sebagainya. Pasti semua itu bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan dan menciptakan kesuksesan.
http://kolom.abatasa.com/kolom/detail/motivation/525/kosongkan-cangkir-tehmu.html

Bikepreneur ...dari Mas Amri Daarut Tauhid




Bikepreneur adalah konsep pengembangan bersepeda yang bisa digunakan sebagai jejaring bisnis kehidupan, bahkan kami pernah menulis tentang berbagai karakter dan prilaku tentang bersepeda. 
Kawan ada empat jenis prilaku kita yaitu; (1) Pertama, bersepeda hari Minggu, kita akan berjumpa dengan karyawan, supervisor dan penganggur; (2) Kedua, bersepeda pada hari Sabtu, kita akan berjumpa dengan manajer dan direktor; (3) Ketiga, bersepeda hari Senin, Selasa, Rabu. Kamis, dan Jumat, maka kita akan berjumpa dengan pembisnis dan investor. (4) Kempat, Tidak pernah bersepeda, kita akan sering berjumpa dengan dokter disebabkan oleh lemah jantung, sakit gula, asam urat, kolestrol dan lain sebagainya.
Kalau kita bersepeda sebagai bikepreneur, sebaiknya tidak terjebak dari satu group sepeda dan juga waktu bersepeda. Sebab, kalau kita terjebak hanya dari satu gourp sepeda dan waktu bersepeda, akan mengalami dua penyakit utama. Pertama, merasa groupnya paling bagus atau sebaliknya, sehingga kita tidak berkesempatan kenal berbagai group sepeda lain dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kedua, jejaring bikepreneur kita akan menjadi sempit dan ini juga mempersempit peluang mengoptimalkan sepeda disampaing sebagai sarana kesehatan juga sarana membuka jejaring bisnis.
Berani mencoba bikepreneur? Bagaimana pendapat sahabat. 

Selasa, 22 Januari 2013

RSBI.... oleh Irwan Prayitno (GUB SUMBAR)


Rudi (bukan nama sebenarnya) seorang siswa SMU. Bakat dan kecerdasannya sudah lama terlihat menonjol. Soal-soal matematika yang dianggap super sulit oleh siswa lain, dengan enteng bisa ia selesaikan. Begitu juga soal-soal pada mata pelajaran lain seperti fisika dan kimia.Bahkan, meski baru duduk di bangku kelas 1, pelajaran kelas 3 bisa ia urai dengan baik.

Karena prestasinya yang menonjol, Rudi lalu mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan di luar negeri pada sebuah negara maju dan berkembang. Karena metode pendidikan di tempat baru, ia menimba ilmu cukup baik, dan fasilitas yang tersedia juga serba lengkap, di sana ia makin memperlihatkan prestasinya.

Di sana Rudi berhasil melakukan inovasi dan temuan-temuan baru yang mengejutkan dan sangat bermanfaat. Alhasil negara pemberi beasiswa menawarkan agar Rudi bekerja di sana dan menjadi warga negara tersebut.

Kisah seperti di atas cukup sering ditemukan, banyak putra/putri Indonesia berbakat menyelesaikan studinya di luar negeri, berprestasi di sana,bekerja di sana, lalu menjadi warga negara setempat, atau memperoleh izin menetap (permanent residence) di sana, mereka tidak kembali lagi ke tanah air.

Mereka menjadi aset negara tersebut, menciptakan inovasi dan penemuan-penemuan baru di sana.

Pada berbagai pelosok Indonesia banyak sekali putra/putri cerdas dan berbakat yang bisa diibaratkan permata terpendam yang belum diasah. Mereka cerdas, memiliki bakat, namun tidak memperoleh wadah agar potensi mereka
tersebut teraktualisasi secara optimal.

Awalnya, karena latar belakang itulah gagasan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) diapungkan.

Siswa/pelajar yang memiliki bakat dan kecerdasan lebih dibanding rata-rata, diberikan perlakuan khusus sehingga potensi mereka bisa dikembangkan secara optimal.

Mereka ditempatkan dalam satu kelas khusus dan mendapat beban pelajaran yang berlebih dibanding kelas biasa. Tentu saja pelajar/siswa dengan kemampuan rata-rata, akan kewalahan jika hal yang sama juga dilakukan pada mereka.

Lalu, dalam pelaksanaannya timbul beberapa friksi yang menimbulkan protes masyarakat. Di beberapa tempat RSBI digugat menarik pungutan terlalu besar sehingga tidak membuka kesempatan bagi warga miskin namun juga cerdas dan berbakat untuk juga menimba ilmu di sekolah RSBI.

Namun tidak semua RSBI melakukan hal serupa, banyak RSBI, termasuk yang berada di Sumatra Barat yang tidak melakukan pungutan macam-macam dan berlebihan sehingga tetap bisa diakses masyarakat kurang mampu.

Selain itu, RSBI dianggap melunturkan rasa nasionalisme karena mengajarkan bahasa Inggris dan menggunakan bahasa negeri pangeran Charles tersebut sebagai bahasa pengantar.

Penggunaan istilah internasional pada SBI/RSBI dikuatirkan dapat melahirkan out put pendidikan nasional yang lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia.

Karena alasan tersebut sejumlah masyakat melakukan judicial review pada 28 Desembes 2011. Lalu pada 8 Januari 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para penggugat tersebut, lalu mencabut pasal 50 ayat 3 Undang-undang no 20 tahun 2003, yang bunyinya, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.

Dengan demikian, SBI/RSBI berakhir sudah. Kita tentu sangat menyayangkan jika niat baik untuk mengangkat potensi anak bangsa ini buyar begitu saja dan kita kehilangan wadah untuk menggembleng generasi pilihan berbakat yang sangat dibutuhkan bangsa ini di masa datang. Seperti kata pepatah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga, gara-gara perbuatan segelintir oknum, buyar harapan seluruh bangsa.

Bagaimanapun, kita menghargai keputusan Mahkamah Konstitusi, namun kita berharap masih ada wadah lain yang bisa mengakomodir putra/putri Indonesia yang cerdas dan berbakat.

Tentu kita juga berharap wadah tersebut dikelola dengan baik dan tidak terulang lagi ekses-ekses yang membuat masyarakat murka dan kembali melakukan gugatan.

Tentu saja, itu tidak berarti sekolah reguler tidak mendapat perhatian. Sekolah reguler tetap mendapat perhatian yang sama dari pemerintah, karena bukan tidak mungkin dari sekolah reguler juga muncul kader-kader bangsa yang potensial dan cerdas yang karena sesuatu hal potensi mereka terlambat muncul ke permukaan. (*)

Singgalang 16 Januari 2013

Kamis, 17 Januari 2013

TUGAS DAN SOAL UJIAN MATA KULIAH AGAMA ISLAM : AKPARTA

MATA UJIAN: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN : JOKO PRAMONO,S.Pd.,M.Pd.

Soal Ujian Akhir Semeter (Task Home Exam)

  1. Jelaskan konsep akhlak, etika dan moral dalam pandangan Islam.?
  2. Jelaskan kerangka dasar ajaran islam?
  3. Saat ini banyak kalangan liberal mengatakan bahwa Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini misalnya terkait dengan masalah hijab dan pembagian warisan. Jelaskan pandangan Anda terkait dengan hal ini. Jelaskan sumber yang mendukunng pendapat Anda?
  4. Jelaskan kedudukan politik dalam Islam? Ada ungkapan yang menyatakan " Islam yes, Politik no", jelaskan pandangan Anda dan berikan rujukan/referensi yang mendukung pendapat Anda.
  5. Bukalah Al quran surat An nuur ayat 3. Tuliskan dan jelaskan tanggapan Anda terkait hal implementasi ayat ini dalam kehidupan.
  6. Islam adalah agama yang syamil (lengkap dan menyeluruh). Lalu hubungkan dengan qur'an surat al baqarah ayat 208. Bagaimana tanggapan Anda dan apa yang akan anda lakukan untuk mengamalkan ayat tersebut?
  7. Tuliskan visi misi anda, jika Anda kelak berkeluarga. Bentuk keluarga seperti apa yang akan Anda idamkan dan Anda gapai. Lalu jelaskan langkah Anda untuk mencapainya.
  8. Islam tidak mengenal istilah pacaran. Jelaskan pandangan Anda terkait dengan statement tersebut dan berikan sumber yang mendukung pndapat Anda. 
  9. Jelaskan karakteristik keluarga sakinah, suami yang shalih dan istri yang shalihah?
  10. Jelaskan peran keluarga islam dalam membentuk masyarakat yang baik/Islami?


Tugas Meresume Buku Rijalud Daulah

Bagian  Kata Pengantar: Membangun Masyarakat Madani:  Edi S
Bab I : Mukadimah: Eka Agus
Bab 2 : Hakikat Politik : Melisa
Bab 3 : A dan B. Halaman 33-105 : Tri AGung
Bab 3 : C , D dan E : halaman 111-179 : Nurike
Bab 4: halaman 181-230 : Sri Rahayu
Bab 5 : halaman 233-249 : Henri S
Bab 6 : A dab B halaman 253-263  : Ratih 
Bab 6 : C halaman 266-303 : Dyah Ayu

Tugas dan Jawaban di ketik dengan baik, dan dikumpulkan paling lambat tanggal 29 Januari 2013 baik berupa hard copy maupun soft copy. Soft copy silakan di kirim ke email saya : joko_pramono77@yahoo.com 
Jangan lupa tugas pribadi yang ada di dalam silabus juga dikumpulkan (berupa hard copy).
Selamat mengerjakan, jika ada kurang jelas silakan sms atau via email. Semoga Allah memberkahi kita semua.

Tenang dalam Bersikap

Saudaraku yang baik, ketenangan menjadi sesuatu yang dibutuhkan setiap orang. Terutama ketika sedang menghadapi masalah atau saat hendak mengambil keputusan. Orang yang tenang tidak pernah galau, panik tergesa-gesa, tidak emosional, tidak overacting. Orang tenang akan bisa menerima informasi lebih banyak, hingga dia bisa lebih memahami. Sedangkan orang yang emosional pendek kemampuan memahaminya, akibatnya kalau merespon akan tidak bagus karena keterbatasan pemahamannya.
Ketenangan pun akan membawa kewibawaan, atau karisma tersendiri bagi pemiliknya. Ia akan disegani oleh teman dan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang overacting tidak akan memiliki kharisma. Terutama, kepada para calon pemimpin dalam skala apapun, ia harus berlatih mengendalikan diri, tetap tenang dalam kondisi bagaimanapun sulitnya. Dan, tenang bukan berarti lamban. Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling tenang, tetapi berjalannya sangat gesit. Karena ketenangan tidak ada kaitannya dengan waktu, melainkan dengan pengendalian diri, artinya dia tetap gesit, tangkas tidak ada gurau berlebih, atau berteriak-teriak. Pribadi yang kalem senyum berukir jernih, tidak pula banyak bicara kalau memang tidak perlu bicara. Akibatnya, orang yang tenang mendapat ilmu yang lebih banyak, mendapatkan kemampuan memilih keputusan lebih baik.
Namun, ketenangan harus diupayakan agar tidak berujung menjadi sombong. Cirinya adalah ketika ia tidak peduli kepada orang lain. Dia diam tapi tidak mau mendengarkan. Malah mungkin asyik melakukan kegiatan yang lain (saat orang lain berbicara padanya). Atau, ada orang yang diam karena dia tengah memikirkan bantahan kepada orang lain, bukannya mengemas manfaat dari pembicaraan yang didengarnya.
Sehingga, tenangya kita responsif, tidak justru pelit. Reponsif seseorang memang bisa dipengaruhi oleh banyaknya keinginan, demografi (asal tempat menetapnya), lingkungan, tekanan kesulitan. Namun itu bisa diubah kalau memang ingin berubah. Nabi Muhammad SAW sendiri tertawa bila orang lain tengah melucu. Demikian pula bagi seorang pemimpin, keputusan terbaik adalah ketika ia memang memiliki akses informasi lengkap. Makin lengkap informasi makin akurat keputusannya. Dan informasi itu sendiri tidak boleh diambil hanya dari satu pihak. Kita harus belajar dari kedua belah pihak, baru mengambil keputusan. Dan yang harus kita sadari adalah tidak ada keputusan tanpa resiko, semua keputusan ada resikonya. Kita hanya perlu menghitung resiko yang paling minimal. Wallahu a`lam.