RUANG IKLAN

SILAKAN BERIKLAN DI BLOG SAYA.

Ruang Iklan

Space ini bisa Anda gunakan untuk mengiklankan produk Anda

BUKU KOMPUTER AKUNTASNSI ACCURATE ONLINE

SETUP AWAL DATA BASE- INPUT TRANSAKSI-PENYAJIAN LAPOAN KEUANGAN

Rabu, 20 November 2013

Welcoming the third wave of Indonesian history | Kolom Anis Matta di The Jakarta Post

Pemilu 2014 semakin dekat, mari kita pemandangan luas-mata dari sejarah kita . Pemilu 2014 ini penting bukan hanya karena itu menandakan pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan , tetapi juga karena berfungsi sebagai momentum untuk gelombang ketiga sejarah Indonesia .

Gelombang pertama terjadi pada abad 17 ke abad pertengahan ke-20 , yang saya sebut sebagai proses " menjadi Indonesia " .

Gelombang kedua berlangsung antara proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945 dan hari ini , seperti yang kita telah berurusan dengan masalah " menjadi negara-bangsa modern " . Dari tahun 2014 dan seterusnya , kita akan memasuki gelombang baru dalam sejarah , di mana kita akan menghadapi tantangan yang sama sekali baru di tengah lingkungan yang berbeda .

Gelombang pertama dalam sejarah Indonesia berlangsung sekitar 300 tahun . Setelah integrasi koloni , yang disebut sebagai Hindia Timur atau Hindia Belanda , nama Indonesia berkembang menjadi gagasan ekonomi politik.

Setelah sejarah panjang perjuangan dan penderitaan , rakyat Indonesia menyadari imperialisme yang tidak bisa ditaklukkan oleh kekuatan dibagi dari kerajaan kecil dan groupd etnis banyak yang ada . Satu-satunya cara ke depan adalah untuk menggabungkan semua node primordial menjadi satu kekuatan yang kuat . Saat itulah para pendiri bangsa ini membuat pergeseran spektrum .

Itu tidak mudah untuk memilih satu nama untuk menyatukan semua kelompok etnis yang berbeda , dan nama Indonesia adalah simbol perjanjian , lahir dari kemauan dan solidaritas , sebagai akibat dari sejarah panjang .

Setelah deklarasi kemerdekaan , Indonesia menghadapi tantangan untuk menemukan sistem yang kompatibel yang relevan dengan sejarah dan budaya . Untuk menjadi bangsa yang modern, kami membutuhkan sebuah konstitusi modern, lembaga-lembaga negara yang kuat dan budaya demokrasi .

Selama hampir 70 tahun , kami telah memperdebatkan ideologi yang paling cocok , sistem politik , ekonomi dan pemerintahan untuk negara kita . Perjuangan ini untuk mengidentifikasi sistem yang tepat adalah zeitgeist yang membentang sepanjang jalan melalui Orde Lama , Orde Baru hingga era Reformasi .

Ini juga merupakan alasan di balik episode perdebatan sengit antara berbagai ideologi Islam , nasionalisme , sosialisme dan banyak orang lain yang kita pergi melalui sebagai bangsa . Kami telah selamat diskusi panjang dan melelahkan selama hubungan antara agama dan negara dan atas sistem ekonomi yang tepat untuk melaksanakan .

Sayangnya , semua perjuangan ini adalah seperti pendulum yang berayun dari satu titik ekstrem ke yang lain . Orde Baru sebagai antitesis Orde Lama . Di era ini kita telah menemukan untuk diri kita sendiri lembaga negara yang kuat tetapi dengan mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan rakyat. Ini adalah inti dari kritik ditujukan pada gerakan reformasi .

Era Reformasi membawa keseimbangan baru bagi Indonesia . Ini menjadi sintesis Lama dan Baru Orders , di mana kita telah berhasil mencapai keseimbangan.

Pertama , keseimbangan hubungan antara negara dan agama . Kami akhirnya bertemu konsensus bahwa kita dapat menggunakan prinsip-prinsip Islam dalam bangsa , seperti yang kita dapat menempatkan Pancasila sebagai panggung terbuka untuk identitas yang berbeda .

Kedua , kita mulai menemukan keseimbangan antara kebebasan dan kesejahteraan rakyat . Meskipun kita belum mencapai standar yang ideal belum, kita dapat mengatakan bahwa kami mendapatkan ada .

Ketiga , kami juga menemukan beberapa keseimbangan antara demokrasi dan pembangunan , antara kebebasan dan keamanan; antara otonomi negara dan integrasi nasional .

Kami telah berhasil melampaui tantangan eksistensial sebagai negara-bangsa dan mengubah diri dari negara yang rentan dengan sejarah pemberontakan dan konflik menjadi kuat negara-bangsa siap menghadapi gelombang sejarah baru .

Pada saat ini , kita memasuki gelombang ketiga sejarah Indonesia , dengan sopir utama yang berbeda dari perubahan . Sebelum kita harus menghadapi tantangan eksternal ( yaitu imperialisme , Perang Dingin ) , sekarang kita harus berurusan dengan satu set baru driver internal perubahan , yang merupakan perubahan signifikan dalam komposisi demografis .

Perubahan utamanya adalah karena munculnya kelas menengah baru. Kelompok ini akan mencapai 60 persen dari total populasi . Belakangan ini telah menjadi " mayoritas baru" di Indonesia . Ekonom dan ahli demografi merujuk kepada mereka sebagai " bonus demografi " atau " bonus demografi " .

Tantangan politik yang akan segera timbul akan menjadi kebutuhan mendesak untuk kategorisasi baru tidak didasarkan pada ideologi untuk mewakili kelompok baru ini . Polarisasi politik lama , terutama polarisasi ideologi Islam terhadap nasionalisme , sudah tidak relevan lagi . Kita harus mendefinisikan " Indonesia berikutnya " .

Penguatan kelas menengah baru ini telah berdampak besar-besaran pada struktur sosial serta meningkatkan daya tawar masyarakat vis - a-vis negara sipil. Selain itu , kelas menengah baru ini akan mendapatkan lebih percaya diri karena perekonomian dunia mulai bergerak menuju wilayah Asia.

Kami sekarang juga menyaksikan kelahiran generasi demokrasi asli, generasi yang hanya mengalami demokrasi. Mereka tidak pergi melalui Orde Baru ke era Reformasi . Mereka menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang diberikan dan bukan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan berdarah . Selanjutnya , untuk kelompok ini , keadaan kacau lanskap politik kita sekarang bisa memberi makan ke dalam rasa apatis terhadap demokrasi .

Karena ini gelombang baru didorong oleh perubahan demografi , karena itu, orientasi terhadap kemanusiaan sebagai puncak tersebut . Tidak harus ada lagi perbedaan antara negara dan masyarakat sipil . Negara harus kembali ke definisi inti sebagai organisasi sosial untuk menciptakan ketertiban . Konsolidasi sosial akan membantu pertumbuhan masyarakat .

Negara ini kemudian diuji kapasitas : Dapatkah negara berhasil memberikan perannya ? Otoritas negara tidak lagi relevan jika kapasitasnya untuk fungsi tersebut tidak memenuhi harapan ini mayoritas baru . Oleh karena itu , saya percaya , untuk mengatasi masalah ini kita perlu pendekatan kepemimpinan baru .

Pemilu 2014 tidak hanya akan mengakomodasi pergeseran kekuatan , tetapi juga pergeseran masuk gelombang sejarah baru . Sebuah pergeseran kekuatan tidak jarang dalam demokrasi .

Namun, apa yang lebih mendesak dan penting sekarang adalah memahami apa artinya ini bagi kita sebagai bangsa . Artinya, apa yang saya percaya , kita harus benar-benar menggali dan mendiskusikan sekarang.

Naskah ASli:

As the 2014 election nears, let us take a bird’s-eye view of the course of our history. The 2014 election is important not only because it signifies a power shift in government, but also because it serves as momentum for the third wave of Indonesian history.

The first wave occurred from the 17th century to the mid-20th century, which I refer to as the process of “becoming Indonesia”.

The second wave took place between proclamation of our independence in 1945 and today, as we have dealt with the issue of “becoming a modern nation-state”. From 2014 onward, we will enter a new wave in history, in which we will face entirely new challenges in amid a different environment.

The first wave in Indonesian history lasted around 300 years. After the integration of the colonies, which were referred to as the East Indies or Dutch East Indies, the name Indonesia evolved to become a political economic notion.

After a long history of struggle and suffering, the Indonesian people realized that imperialism could not be conquered by the divided power of the small kingdoms and many ethnic groupd that existed. The only way forward was to merge all the primordial nodes into one powerful force. It was then that the founding fathers of this nation made a spectrum shift.

It was not easy to pick one name to unify all the different ethnic groups, and the name Indonesia was a symbol of agreement, born from willingness and solidarity, as a result of a long history.

After the declaration of independence, Indonesia faced the challenge of finding a compatible system that was relevant with its history and culture. To become a modern nation, we needed a modern constitution, strong state institutions and culture of democracy.

For nearly 70 years, we have been debating the most suitable ideology, political, economic and government system for our country. This struggle to identify the right systems was the zeitgeist that stretched all the way through the Old Order, New Order until the Reform era.

This is also the reason behind the episodes of heated argument between various ideologies of Islam, nationalism, socialism and many others that we went through as a nation. We have survived long and tiring discussions over the relationship between religion and state and over the right economic system to implement.

Unfortunately, all these struggles were like a pendulum that swung from one extreme point to another. The New Order came as an antithesis of the Old Order. In this era we had found for ourselves a strong state institution but at the expense of freedom and liberty of the people. This was the core of the criticism aimed at the reform movement.

The Reform era brought a new equilibrium for Indonesia. It became the synthesis of the Old and New Orders, in which we have successfully attained balance.

First, the balance of the relationship between state and religion. We have finally met a consensus that we can use the Islamic principles within the nation, as we can put Pancasila as an open stage for different identities.

Second, we start to find a balance between the freedom and welfare of people. Even though we have not reach the ideal standard yet, we can safely say that we are getting there.

Third, we have also found some balance between democracy and development; between freedom and security; between state autonomy and national integration.

We have managed to surpass the existential challenge as a nation-state and transformed ourselves from a vulnerable country with a history of rebellion and conflict into a strong nation-state ready to face the new historical wave.

At the moment, we are entering the third wave of Indonesia history, with different main driver of change. Before we have had to deal with external challenges (i.e. imperialism, the Cold War), now we have to deal with a new set of internal drivers of change, which is the significant change in our demographic composition.

The ultimate change is due to the emergence of new middle class. This group will make up 60 percent of the total population. It has recently become “the new majority” in Indonesia. Economists and demography experts refer to them as “demographic bonus” or the “demographic dividend”.

The political challenge that will soon arise will be the urgent need for new categorizations not based on ideology to represent this new group. Old political polarizations, especially the ideological polarization of Islam versus nationalism, is no longer relevant. We have to define “the next Indonesia”.

The strengthening of this new middle class has impacted massively on social structures as well as improving the bargaining power of the civil society vis-a-vis the state. Moreover, this new middle class will gain more confidence as the world economy starts to move toward Asian territory.

We are now also witnessing the birth of native democracy generation, a generation that has only experienced democracy. They did not go through the New Order into the Reform era. They perceive democracy as something that is given and not something that is achieved through bloody struggles. Furthermore, for this group, the chaotic state of our political landscape right now could feed into a sense of apathy toward democracy.

As this new wave is driven by the demographic changes, therefore, orientation toward humanity as the pinnacle. There should no more divergence among the state and the civil society. The state should go back to its core definition as a social organization to create order. Social consolidation will help grow communities.

The state is then put to the test of capacity: Can the state successfully deliver its role? The state authority is no longer relevant if its capacity to function does not meet the expectancy of this new majority. Hence, I believe, to address this issue we would need a new leadership approach.

The 2014 election will not only accommodate the shift in power, but also the incoming shift of this new historical wave. A shift in power is not uncommon in democracy.

However, what is more pressing and important right now is to understand what this means to us as a nation. That is, what I believe, we must really dig into and discuss right now.

*The writer is president of theProsperous Justice Party (PKS).

(Terbit di koran The Jakarta Post edisi 19 Nov 2013 dan edisi ONLINE)

Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”

Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman civitas academica.

Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .
Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~
Pidato Erica tersebut juga dimuat di blog America dan mendapat tanggapan luas oleh publik di sana. Silakan baca di sini:http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html
Kalau ingin melihat video pidato Erica di Youtube, klik ini:atau masuk pada pranala berikut: http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts&feature=player_embedded#!

Selasa, 19 November 2013

File pelatihan PLPG

Senin, 18 November 2013

Data Soal Ujian Semester Gasal 2013/14 : Komputer Akuntansi ACCURATE

Untuk Kelas XI silakan unduh Accurate kelas XI
Untuk Kelas XII silakan unduh di Accurate kelas XII

Contoh Soal Praktik Lengkap Mengelola Kas Kecil

Silakan download Praktik Mengelola Kas Kecil

SKKNI AKUNTANSI 2013

Silakan download  SKKNI AKUNTANSI 2013
Semoga bermanfaat

Jumat, 15 November 2013

Data Excell PT STAPI INDOENSIA

Data soal  dan data Excell PT STAPI INDONESIA silakan download di linik di bawah ini: 1. Data Excell PT STAPI

Senin, 04 November 2013

Contoh SOal dan JAwaban Rekonsiliasi Fiskal

SIlakan pelajari dan unduh DI SINI

Contoh Rekonsiliasi FISKAL


Penjualan 8.700.000.000             Harga Pokok Penjualan (3.100.000.000)            Laba kotor         5.600.000.000             Beban Operasi                    - Gaji     (1.200.000.000)                - Tunjangan transport karyawan     (215.000.000)                - PPh 21 karyawan ditanggung perusahaan     (85.000.000)                - Makan & minum karyawan     (315.000.000)                - Pengobatan karyawan ditanggung perusahaan     (95.500.000)                - Beban training karyawan     (65.000.000)                - Rekreasi karyawan     (75.000.000)                - Beban iklan     (46.000.000)                - Beban transportasi     (25.000.000)                - Beban piutang tak tertagih     (28.500.000)                - Bea siswa     (45.000.000)                - Beban jamuan pejabat     (65.000.000)                - Beban listrik & telepon     (63.000.000)                - Beban penyusutan     (412.000.000)                - Pakaian seragam karyawan     (82.500.000)                - Beban premi asuransi     (74.000.000)                - Sumbangan HUT RI     (27.500.000)                - Sumbangan Yayasan Panti Asuhan     (30.000.000)                - PBB, PKB, & Bea Meterai     (25.500.000)                Beban Operasi         (2.974.500.000)            Laba Usaha         2.625.500.000             Pendapatan (Beban) Lain-lain                    - Dividen dari PT Abadi Jaya     45.000.000                 - Sewa mobil     60.760.000                 - Laba usaha dari Cabang di Malaysia     617.500.000                 - Laba usaha dari Cabang di Singapore     425.000.000                 - Kerugian usaha dari Cabang di Vietnam     (105.000.000)                - Keuntungan selisih kurs     25.500.000                 Pendapatan (Kerugian) Lain-lain         1.068.760.000             Laba Sebelum Pajak           3.694.260.000             Beban PPh         (915.500.000)            Laba Bersih         2.778.760.000                                      Nama      Status      Tgl Lahir      Keterangan          Zaenab      Istri       15-2-1975      Kepala Cabang          Zainuddin      anak kandung      25-4-1995      Pelajar          Zubaedah      anak kandung      13-8-1998      Pelajar          Ucok Sugiarto      anak angkat      11-12-2001      Pelajar          Butet Raharjo      anak angkat      2-7-2004      Pelajar                             Daftar Peralatan     Harga Perolehan      Tgl Perolehan      Kelompok         - Komputer     115.000.000      7-11-2008     I        - Mobil box     1.500.000.000      25-4-2010     II        - Mobil sedan     1.200.000.000      26-5-2012     II         - Bangunan      5.000.000.000      18-10-2008 
*Jawaban Rekonsiliasi  Fiskal*Uraian     KOMERSIAL      KOREKSI FISKAL           FISKAL                                          POSITIF      NEGATIF          Penjualan                           8.700.000.000                                           8.700.000.000 Harga Pokok Penjualan                         (3.100.000.000)                                       (3.100.000.000)Laba kotor                           5.600.000.000                                           5.600.000.000 Beban Operasi                                                                      -   - Gaji                         (1.200.000.000)         120.000.000           2g                             (855.000.000)               225.000.000           2c     - Tunjangan transport karyawan                            (215.000.000)                                           (215.000.000)- PPh 21 karyawan ditanggung perusahaan                               (85.000.000)           85.000.000           2c                                                   -   - Makan & minum karyawan                            (315.000.000)                                           (315.000.000)- Pengobatan karyawan ditanggung perusahaan                               (95.500.000)           95.500.000           2c                                                   -   - Beban training karyawan                               (65.000.000)           25.000.000           2a                               (40.000.000)- Rekreasi karyawan                               (75.000.000)                            75.000.000           2c                                                   -   - Beban iklan                               (46.000.000)                                             (46.000.000)- Beban transportasi                               (25.000.000)                                             (25.000.000)- Beban piutang tak tertagih                               (28.500.000)                            28.500.000           2k                                                   -   - Bea siswa                               (45.000.000)                                             (45.000.000)- Beban jamuan pejabat                               (65.000.000)                            65.000.000           2k                                                   -   - Beban listrik & telepon                               (63.000.000)                              3.000.000           2a                               (60.000.000)- Beban penyusutan                            (412.000.000)                                  129.250.000      3e                             (541.250.000)- Pakaian seragam karyawan                               (82.500.000)                            82.500.000           2c                                                   -   - Beban premi asuransi                               (74.000.000)                            50.000.000           2a                               (24.000.000)- Sumbangan HUT RI                               (27.500.000)                            27.500.000           2e                                                   -   - Sumbangan Yayasan Panti Asuhan                               (30.000.000)                            30.000.000           2e                                                   -   - PBB, PKB, & Bea Meterai                               (25.500.000)                                             (25.500.000)Beban Operasi                         (2.974.500.000)                                       (2.191.750.000)Penghasilan Neto                           2.625.500.000                                           3.408.250.000 Penghasilan Neto Pencucian Mobil  (1,5M x 20%)                                                  300.000.000 Total Penghasilan Neto                                               3.708.250.000 Zakat                                                  (50.000.000)PTKP (K/I/3)                                                  (36.960.000)Penghasilan Kena Pajak                                               3.621.290.000 PPh terutang                        - tarif 5%                                            2.500.000          - tarif 15%                                          30.000.000          - tarif 25%                                          62.500.000          - tarif 30%                                       936.387.000                                 1.031.387.000                                          Suami           Isteri PPh terutang                                          83.439.924                                    947.947.076  PPh Ps. 25                                        (50.000.000)                                 (700.000.000)PPh kurang bayar                                          33.439.924                                    247.947.076                                                   PPh Pasal 25 tahun 2011                                            2.786.660                                       20.662.256
ASET TETAP                        Harga Perolehan      Tgl Perolehan      Tarif Penyusutan           Beban Penyusutan - Komputer    115.000.000     7-11-2008     25%                                     28.750.000 - Mobil box    1.500.000.000     25-4-2009     12,50%                                  187.500.000- Mobil sedan    1.200.000.000     26-5-2009    12,50%                                     75.000.000  - Bangunan     5.000.000.000     18-10-2008     5%                                  250.000.000                                                                                                               541.250.000

Materi Koreksi FISKAL 1

AKUNTANSI PERPAJAKAN (KOREKSI FISKAL)

Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajaksebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
a.     Beda tetap.
Yaitu penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial tetapi tidak diakui dalam penghitungan akuntansi  pajak.
Contoh penghasilan :  sumbangan, Penghasilan bunga deposito.
Contoh biaya            : biaya sumbangan, biaya sanksi perpajakan.
b.      Beda waktu
Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial, tetapi tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi  pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan.
Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs
Contoh biaya            : biaya penyusutan, biaya sewa
Jenis koreksi fiskal adalah sebagai berikut :
a.    Koreksi fiskal positif
Yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Contoh : Biaya PPh
Selengkapnya lihat Jenis koreksi fiskal positif.
b.    Koreksi fiskal Negatif
Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Contoh : Penghasilan bunga deposito.
B. Jenis-Jenis Koreksi Fiskal :
Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis-jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 jo UU Nomor 17 Tahun 2000), yaitu terdiri dari :
1. Beda Tetap :
-
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan PPh bukan penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.
-
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh yang terutang. Misalnya : penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
Adapun contoh cara menghitung penghasilan dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut :
Perusahaan Dagang
Penjualan Bruto ……………………………………………… Rp
-/- Retur ………………………………………………………..  Rp                            (-)
Penjualan Netto ………..….………………………………..  Rp
Harga Pokok Penjualan:
Persediaan awal tahun ….… Rp__________
Pembelian ………………            Rp                 _   (+)
Tersedia untuk dijual …….    Rp                         _
Persediaan akhir tahun …    Rp                        (-)
Harga Pokok Penjualan ……………………………………. Rp                          (-)
Laba Bruto Usaha …………………………………………      Rp____________
Biaya administrsi dan Umum ……………………………   Rp                          (-)
Penghasilan Netto Usaha …………………………………    Rp____________
Penghasilan Di Luar Usaha …………                                  Rp…………………..
Biaya Di Luar usaha ……………………                                  Rp………    ………..
Penghasilan netto luar usaha …………………………..     Rp …………………_
Jumlah Penghasilan Neto (Komersial).…………………  Rp
===========
Dari jumlah penghasilan neto komersial tersebut, kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian (adjust-ment), yang didasarkan pada aturan-aturan perpajakan untuk memperoleh penghasilan neto fiskal, yakni penghasilan neto yang didasarkan pada perhitungan yang diakui secara fiskal.  Penyesuaian-penyesuaian tersebut disebut KOREKSI FISKAL.  Koreksi fiskal ada dua macam, yakni koreksi fiskal POSITIF dan koreksi fiskal NEGATIF.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap :
1.  Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2.  Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3.  Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4.  Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5.  Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
a.   Koreksi Fiskal Positif:  koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang menghasilkan Laba Fiskal lebih besar dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih kecil dari pada Rugi Komersial).
Contoh:
UraianKomersialFiskalKeterangan
Pemberian sembako untuk pegawaidiakuiTidak diakuiHarus dikoreksi
Pemberian fasilitas rekreasi u/ pegawaidiakuiTidak diakuiHarus dikoreksi
Pemberian fasilitas tempat tinggal u/pegawaidiakuiTidak diakuiHarus dikoreksi
Akibat dari adanya koreksi ini maka biaya yang dihitung secara fiskal menjadi lebih kecil dari pada biaya yang dihitung secara komersial.  Akibat selanjutnya laba yang dihitung secara fiskal menjadi lebih besar dari pada laba yang dihitung secara komersial. Karena laba yang dihitung secara fiskal menjadi lebih besar maka disebut koreksi fiskal positif.
b.   Koreksi Fiskal Negatif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang menghasilkan Laba Fiskal lebih kecil dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih besar dari pada Rugi Komersial).
Contoh:
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi menggunakan Metode Garis Lurus untuk jangka waktu lima tahun untuk aset senilai Rp100.000.000.  Perhitungan penyusutan Komersial-nya adalah sbb:
Harga perolehanRp100.000.000
Penyusutan tahun pertama 20%Rp20.000.000
Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi Fiskal menggunakan Metode Sado Menurun dengan tarif 25% dari Nilai Sisa Buku.  Perhitungan penyusutan Fiskalnya adalah sbb:
Harga perolehanRp100.000.000
Penyusutan tahun pertama 25%Rp25.000.000
Penyusutan tahun pertama adalah 25% dari nilai perolehan, karena pada tahun pertama nilai bukunya sama dengan nilai perolehan.
Jika diperbandingkan antara penyusutan komersial dengan penyusutan komersial akan tampak sebagai berikut:
UraianKomersialFiskalKeterangan
PenyusutanRp20.000.000Rp25.000.000Harus dikoreksi sebesar Rp5.000.000
Penyusutan fiskal pada contoh tersebut diatas lebih besar Rp5.000.000 dari pada penyusutan komer-sial. Karena penyusutan sebagai beban secara fiskal dihitung lebih besar maka akibatnya penghasilan secara fiskal menjadi lebih kecil.  Karena laba secara fiskal menjadi lebih kecil (atau rugi secara fiskal menjadi lebih besar), maka disebut koreksi fiskal negatif.
Selanjutnya dari dari bagan perhitungan Laba Rugi dengan hasil akhir Jumlah penghasilan Neto Komersial tersebut dimuka, dapat diteruskan sebagai berikut:
Penghasilan Neto Komersial …………………. Rp………………….
Koreksi Positif …………… Rp…………………..
Koreksi Negatif …………. Rp…………………..
Saldo Koreksi ……………………………………… Rp………………….. + (-)
Laba/Rugi Fiskal …………………………………. Rp…………………..
-
Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), misalnya ;
-
Biaya-biaya yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
-
Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
-
Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
-
Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya ; daftar nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas peghapusan piutang).
2. Beda Waktu :
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal, misalnya ;
-
Metode penyusutan
-
Metode penilaian persediaan
-
Penyisihan piutang tak tertagih
-
Rugi-laba selisih kurs
-
Dan sebagainya

TUGAS UNTUK KELAS XI AP 1, XII AK 1, XII AK 2 DAN XII AK 3

Rabu, 6 November 2013
Tugas untuk kelas XI AP 1 jam ke 5-6-7 di ruang 10: Mengelola Kas Kecil 
SIlakan unduh  DI SINI 

Tugas untuk kelas XII AK 1 jam 9-10 di L AK 2 : ACCURATE
Silakan lakukan setup data base untuk PT CEMERLANG secara mandiri
Data excel PT CEMERLANG dapat di Download di www.hatirembulan.blogspot.com

Jum’at , 8 November 2013
Tugas untuk kelas XII AK 2  jam 1-2 di ruang L AK-1
Tugas untuk kelas XII AK 3  jam 3-4 di ruang L AK-1
Mengerjakan koreksi fiskal untuk materi dan contoh 

Sabtu, 9 November 2013
Kelas XII AK 11 jam 7-8 di L AK 1 : ACCURATE
Silakan lakukan setup data base untuk PT CEMERLANG secara Mandiri
Data excel PT CEMERLANG dapat di Download di www.hatirembulan.blogspot.com