RUANG IKLAN

SILAKAN BERIKLAN DI BLOG SAYA.

Ruang Iklan

Space ini bisa Anda gunakan untuk mengiklankan produk Anda

BUKU KOMPUTER AKUNTASNSI ACCURATE ONLINE

SETUP AWAL DATA BASE- INPUT TRANSAKSI-PENYAJIAN LAPOAN KEUANGAN

Minggu, 24 November 2013

Analisa Transaksi dan Pencatatan Ke dalam Jurnal Umum

PENJURNALAN

P
enjurnalan dianalogikan sebagai peringkasan transaksi secara kronologis. Di awal bab ini kita mendiskusikan tentang Debet dan Kredit yang merupakan pengetahuan penting untuk penjurnalan. Selanjutnya kita membahas tentang pengertian penjurnalan, informasi penting transaksi, buku jurnal, langkah-langkah penjurnalan, dan aplikasi penjurnalan.
Fungsi jurnal meliputi :
1. Fungsi historis, yaitu jurnal merupakan kegiatan mencatat semua transaksi keuangan secara kronologis atau berurutan sesuai dengan tanggal terjadinya.
2. Fungsi mencatat, yaitu jurnal merupakan pencatatan yang lengkap terperinci, artinya semua transaksi dengan sumbernya harus dicatat tanpa ada yang ketinggalan.
3. Fungsi analisis, yaitu jurnal menganalisis transaksi untuk menentukan akun yang harus di Debet maaupun yang di Kredit.
4. Fungsi instruktif, yaitu jurnal merupakan perintah memposting dalam buku besar baik yang di Debet maupun yang di Kredit sesuai hasil analisis dalam jurnal.
5. Fungsi informatif, yaitu jurnal memberikan keterangan kegiatan perusahaan secara jelas.


A. Debet dan Kredit

S
ebenarnya Debet dan Kredit hanya sebatas menunjukkan sisi kiri dan sisi kanan suatu akun. Debet dan kredit TIDAK identik dengan perubahan berupa penambahan (+) dan pengurangan (-).
Sifat debet (D) dan kredit (K) bergantung pada jenis akunnya dengan ketentuan sebagai berikut:



a. Elemen Aset: bertambah di Debet, berkurang di Kredit
b. Elemen Kewajiban: bertambah di Kredit, berkurang di Debet
c.  Elemen Ekuitas: bertambah di Kredit, berkurang di Debet
d. Elemen pendapatan: bertambah di Kredit, berkurang di Debet
e.  Elemen biaya: bertambah di Debet, berkurang di Kredit


Sifat akun elemen Aset dan akun elemen biaya sama, yaitu di debet jika bertambah dan di kredit jika berkurang. Sedangkan sifat akun elemen Kewajiban, elemen Ekuitas, dan elemen pendapatan adalah sama, yaitu di kredit jika bertambah dan di debet jika berkurang (ingat aplikasi PDA di Bab sebelumnya).

B. Pengertian Penjurnalan

P
enjurnalan dimaksudkan untuk meringkas transaksi secara urut waktu (kronologis). Penjurnalan harus tetap mencantumkan informasi penting yang bermanfaat untuk proses akuntansi.


C. Informasi Penting Transaksi

I
nformasi penting tentang transaksi yang dicantumkan dalam penjurnalan adalah sebagai berikut:
1. Tanggal transaksi

2. Akun-akun yang terkait dengan transaksi

3. Nilai rupiah transaksi.

4. Kode akun

5. Deskripsi singkat transaksi

Informasi lainnya dapat dicantumkan sesuai kebutuhan perusahaan.



D. Buku Jurnal

M
edia  penjurnalan  disebut  buku  jurnal.  Terdapat  dua  (2)  macam buku jurnal, yaitu buku jurnal umum dan buku jurnal khusus. Perusahaan kecil lazimnya menggunakan buku jurnal umum, yaitu buku jurnal yang menampung  semua  jenis  transaksi  yang  terjadi  di  perusahaan.  Bentuk buku jurnal umum adalah sebagai berikut:
Perusahaan  besar  lazimnya  menggunakan  buku  jurnal  khusus. Setiap  buku  jurnal  khusus  menampung  jenis  transaksi  tertentu.  Buku jurnal khusus lazimnya terdiri dari:
1. Buku jurnal Penjualan Kredit

2. Buku jurnal Pembelian Kredit

3. Buku jurnal Penerimaan Kas

4. Buku jurnal Pengeluaran Kas

5. Buku jurnal Umum

Penggunaan buku jurnal khusus menjadikan perusahaan mengetahui total nilai transaksi untuk jenis transaksi tertentu secara lebih mudah.


E.  Langkah-langkah Penjurnalan

uatlah buku jurnal yang diperlukan. Berikut ini langkah-langkah penjurnalan menggunakan buku jurnal umum dalam proses pembelajaran:
1.   Tulislah tanggal transaksi di kolom Tanggal

2.   Tentukan akun-akun yang di debet dan yang dikredit

3.   Tulislah akun-akun yang di debet ke kolom Nama Akun

4.   Dibawah akun-akun yang di debet, tulislah akun-akun yang di kredit.

Akun yang di kredit ditulis menjorok ke dalam di banding akun-akun yang di debet.
5.   Dalam tanda kurung, tulislah deskripsi singkat di bawah akun-akun

6.    Tulislah nilai rupiah untuk masing-masing akun ke salah satu kolom; Debet atau Kredit.
7.    Pastikan bahwa total nilai rupiah sisi debet sama dengan total nilai rupiah sisi kredit
8.    Di baris terakhir setiap lembar buku jurnal, hitunglah jumlah total sisi debet dan sisi kredit. Pastikan bahwa jumlah kedua sisi adalah sama.
9.    Bawalah jumlah kedua sisi debet dan kredit di nomor 8 tersebut ke baris paling atas di lembar berikutnya.

F. Contoh Penjurnalan

B
erikut ini contoh transaksi dan penjurnalan yang dibuat:

01  Februari  Cherry  menerima  pembayaran  tunai  Rp2.500.000  dari  penyediaan  jasa penyewaan mobil
Analisis Transaksi:
a.    Transaksi ini berpengaruh pada akun kas dan akun Pendapatan karena penerimaan pendapatan dari penyewaan mobil.
b.   Pengaruh transaksinya adalah akun kas mengalami peningkatan akibat investasi dan akun Pendapatan juga mengalami peningkatan akibat penerimaan jasa dari penyewaan mobil.
c. Oleh karena akun kas mengalami peningkatan maka sesuai kaidah, akun ini akan didebit, demikian juga akun Pendapatan juga mengalami peningkatan sehingga akun ini harus dikredit.

G. Aplikasi Penjurnalan

S
ebagai informasi awal, diketahui bahwa Cherry merupakan perusahaan yang bergerak dibidang jasa pembelajaran on-line. Jasa unggulannya adalah penerbitan ebook, kursus & pelatihan akuntansi, konsultasi ujian, dan penyediaan data keuangan perusahaan.

Berikut ini transaksi (T) Cherry selama bulan Januari 2013.

T1:   01 Januari Tuan IMAN menyetorkan uang tunai Rp 10.000.000,00 ke Cherry.
T2:  02 Januari Tuan IMAN menyerahkan komputer Rp 3.000.000 ke Cherry.
T3: 03 Januari Cherry membeli supplies berupa alat tulis kantor Rp 1.000.000 dari toko Rajin secara tunai.
T 4: 04 Januari Cherry membeli 1 komputer Rp 4.000.000 di toko Digital secara kredit (dibayar tgl 15/01)
T5:  15 Januari Cherry melunasi Kewajibannya kepada toko Digital  Rp 4.000.000 tunai.
T6:  16 Januari Tuan IMAN mengambil uang tunai dari Cherry untuk kepentingan pribadi  Rp1.000.000,00
T7:  17 Januari Cherry membayar honorarium staff administrasi untuk bulan Januari Rp1.500.000 tunai.
T8:  18 Januari Cherry memperoleh pendapatan dari jasa konsultasi yang diberikan Rp4.500.000 tunai.

Analisis T1:
  1. Akun yang dipengaruhi adalah Akun Kas dan Akun Ekuitas/Modal Tuan Iman
  2. Akun kas mengalami peningkatan dan Akun Ekuitas/Modal Tuan Iman jga mengalami peningkatan akibat investasi Tuan Iman. Peningkatannya masing-masing sebesar Rp 10.000.000,00
  3. Sesuai kaidah debet-kredit, maka akun kas di catat sebelah debet dan akun Modal Tuan Iman dicatat sebelah kredit.
Analisis T 2:
  1. Akun yang dipengaruhi adalah akun Peralatan Kantor dan Akun Modal Tuan Iman.
  2. Pengaruh transaksinya adalah akun perlatan kantor bertambah dan akun Modal Tuan Iman juga bertambah.
  3. Sesuai kaidah Debet-kredit, maka akun Peralatan Kantor dicatat sebelah Debet dan akun Modal Tuan Iman dicatat sebelah kredit.
Analisis T3:
  1. Akun yang dipengaruhi adalah akun Suplies/Perlengkapan dan Akun Kas.
  2. Pengaruh transaksinya adalah Akun Perlengkapan/Suplies mengalami peningkatan dan Akun Kas mengalami penurunan karena pembelian tunai suplies.
  3. Pencatatannya: Akun Perlengkapan/suplies bertambah dicatat sebelah debet dan akun kas dicatat sebelah kredit.
Sekarang coba Anda lakukan analisis untuk T4-T8.
Transaksi-transaksi di atas dicatat di buku jurnal umum mengikuti langkah-langkah yang telah diuraikan diatas. Cherry menggunakan buku jurnal umum untuk mencatat semua transaksi yang terjadi di atas. Hasil penjurnalan yang dilakukan perusahaan Cherry tercantum di buku jurnal umum sebagaimana tercantum di Peraga 3 yang di bawah ini.
Cherry Corner.Com
Jurnal Umum
Bulan : Februari 


KESIMPULAN



P
enjurnalan adalah meringkas transaksi secara kronologis. Pada prinsipnya, penjurnalan dilakukan dengan mendebet satu atau lebih akun dan mengkredit satu atau lebih akun lainnya dalam total nilai rupiah yang seimbang. Hal ini adalah implementasi dari pencatatan berpasangan. Penjurnalan dicantumkan di buku jurnal. Terdapat dua jenis buku jurnal, yaitu buku jurnal umum dan buku jurnal khusus.
Perusahaan kecil lazimnya menggunakan buku jurnal umum, yaitu satu (1) buku jurnal untuk mencatat semua transaksi yang terjadi. Sedangkan perusahaan berskala besar lazimnya menggunakan beberapa buku jurnal khusus untuk menampung jenis transaksi tertentu yang sering terjadi. Jenis buku jurnal khusus yang dibuat tergantung pada kebutuhan perusahaan.


Kata-kata Kunci


01.
Penjurnalan
05.
Kronologis
02.
Buku jurnal umum
06.
Buku jurnal khusus
03.
Buku jurnal penjualan kredit
07.
Debet dan Kredit
04.
Buku jurnal penerimaan kas
09.
Buku jurnal pengeluaran kas
05.
Penulisan menjorok ke dalam
10.
Buku jurnal pembelian kredit

Sebagai referensi tambahan silakan kunjungi dan baca materi jurnal umum di http://milamashuri.wordpress.com/jurnal-umum/ 

Jumat, 22 November 2013

Distorsi Penegakkan Syariat Islam

Soal penegakkan syari'at Islam, perlu kita pahami dulu apa hakekatnya. Karena istilah ini telah mengalami distorsi luarbiasa dalam perspektif politik Indonesia. (halaman. 108)

Distorsi pertama, orang selalu menganggap bahwa syari'at Islam itu adalah aspek hukum dari Islam dan secara khusus aspek hukum itu adalah hukum pidana. Padahal siapapun yang mempelajari dengan baik masalah-masalah hukum dalam Islam, akan menemukan fakta bahwa dari 6666 ayat al Qur'an, menurut Imam as Suyuthi, hanya sekitar 500 ayat yang berkaitan dengan hukum. Jika kita lihat hukum pidana dalam Islam, itu hanya terkait dengan 5 poin saja: berzina, mencuri, dan lain-lain. Berbeda dengan hukum positif, berzina tidak dimasukkan dalam aspek pidana kecuali pemerkosaan. (halaman. 108-109)


Penerapan hukum ini tidak mungkin terjadi kecuali masyarakat itu sudah menjadi baik. Oleh karena itu menurut Ibn Khaldun, "Negara hanya diperlukan kalau jumlah orang jahat itu masih banyak." Kalau semua masyarakat sudah baik pada umumnya, maka negara itu tidak diperlukan. Jadi buat apa orang shalih kita atur-atur. (halaman. 109)

Kalau kita bahas tentang distorsi, distorsi tentang syari'at ini lebih parah lagi, orang mempersempitnya begitu saja. Sekarang kalau misalnya semua orang tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh. Tapi semua miskin, tidak bisa makan, dan tidak punya lapangan kerja. Dalam kondisi seperti itu, saya tidak dapat membayangkan kalau ada deklarasi negara Republik Islam Indonesia. (halaman. 109)


Setelah 10 tahun berkuasa di Madinah, Rasulullah tidak memberi nama Madinah sebagai negara Islam. Sebab jauh lebih penting meningkatkan kualitas hidup umat. Menurut saya, hal ini tidak perlu ada pemisahan lagi. Faktanya 90% yang hidup di atas tanah Indonesia ini adalah muslim, yang tidak perlu lagi memisahkan identitas: Saya sebagai muslim dan saya sebagai orang Indonesia. Tidak perlu. Karena kita adalah bangsa Indonesia dan saya muslim. Titik. Nama negaranya cukup seperti itu: Republik Indonesia. (halaman. 109-110)

Dalam al Qur'an itu ada 114 surat. Surat Madaniyah yang sebagian besarnya itu berbicara tentang hukum hanya 28 surat dari 114 surat. Artinya menerapkan hukum itu jauh lebih mudah, apabila masyarakat sudah siap. (halaman. 111)

Berbicara tentang Islam, mengomunikasikannya secara de fakco lebih mudah, daripada mengomunikasikannya secara teori. (halaman. 112)

Dulu pada zaman Rasulullah, sebaik-baiknya kurun, siapa menteri keuangannya pada masa itu? Siapa bendaharanya di zaman itu? Tidak ada yang namanya bendahara. Tidak ada yang namanya kas negara, karena semua uang yang masuk habis terbagi. (halaman. 113-114)

Yang namanya baitul maal itu baru ada di zaman Umar bin Khaththab. Hal ini ada karena setelah harta rampasan perang dibagi, saldonya masih banyak. Jadi orang ini berpikir bagaimana caranya untuk menyimpan saldo ini. Akhirnya mereka mencari ide tentang baitul maal, itu bukan dari Islam tapi berasal dari Persia. Waktu perang melawan Persia mereka melihat ada gudang-gudang tempat penyimpanan harta benda. Itu yang dimaksud dengan baitul maal. (Halaman. 114)


Oleh karena itu, saya lebih tertarik pada bagaimana kita meningkatkan leverage (pengaruh) kita sebagai umat dan leverage untuk memimpin orang. (halaman. 114)

[Seri Pemikiran Anis Matta: Integrasi Politik dan Dakwah, terbitan DPP Bidang Arsip dan Sejarah, tahun 2007]


Oleh : H.D Gumilang

Rabu, 20 November 2013

Welcoming the third wave of Indonesian history | Kolom Anis Matta di The Jakarta Post

Pemilu 2014 semakin dekat, mari kita pemandangan luas-mata dari sejarah kita . Pemilu 2014 ini penting bukan hanya karena itu menandakan pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan , tetapi juga karena berfungsi sebagai momentum untuk gelombang ketiga sejarah Indonesia .

Gelombang pertama terjadi pada abad 17 ke abad pertengahan ke-20 , yang saya sebut sebagai proses " menjadi Indonesia " .

Gelombang kedua berlangsung antara proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945 dan hari ini , seperti yang kita telah berurusan dengan masalah " menjadi negara-bangsa modern " . Dari tahun 2014 dan seterusnya , kita akan memasuki gelombang baru dalam sejarah , di mana kita akan menghadapi tantangan yang sama sekali baru di tengah lingkungan yang berbeda .

Gelombang pertama dalam sejarah Indonesia berlangsung sekitar 300 tahun . Setelah integrasi koloni , yang disebut sebagai Hindia Timur atau Hindia Belanda , nama Indonesia berkembang menjadi gagasan ekonomi politik.

Setelah sejarah panjang perjuangan dan penderitaan , rakyat Indonesia menyadari imperialisme yang tidak bisa ditaklukkan oleh kekuatan dibagi dari kerajaan kecil dan groupd etnis banyak yang ada . Satu-satunya cara ke depan adalah untuk menggabungkan semua node primordial menjadi satu kekuatan yang kuat . Saat itulah para pendiri bangsa ini membuat pergeseran spektrum .

Itu tidak mudah untuk memilih satu nama untuk menyatukan semua kelompok etnis yang berbeda , dan nama Indonesia adalah simbol perjanjian , lahir dari kemauan dan solidaritas , sebagai akibat dari sejarah panjang .

Setelah deklarasi kemerdekaan , Indonesia menghadapi tantangan untuk menemukan sistem yang kompatibel yang relevan dengan sejarah dan budaya . Untuk menjadi bangsa yang modern, kami membutuhkan sebuah konstitusi modern, lembaga-lembaga negara yang kuat dan budaya demokrasi .

Selama hampir 70 tahun , kami telah memperdebatkan ideologi yang paling cocok , sistem politik , ekonomi dan pemerintahan untuk negara kita . Perjuangan ini untuk mengidentifikasi sistem yang tepat adalah zeitgeist yang membentang sepanjang jalan melalui Orde Lama , Orde Baru hingga era Reformasi .

Ini juga merupakan alasan di balik episode perdebatan sengit antara berbagai ideologi Islam , nasionalisme , sosialisme dan banyak orang lain yang kita pergi melalui sebagai bangsa . Kami telah selamat diskusi panjang dan melelahkan selama hubungan antara agama dan negara dan atas sistem ekonomi yang tepat untuk melaksanakan .

Sayangnya , semua perjuangan ini adalah seperti pendulum yang berayun dari satu titik ekstrem ke yang lain . Orde Baru sebagai antitesis Orde Lama . Di era ini kita telah menemukan untuk diri kita sendiri lembaga negara yang kuat tetapi dengan mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan rakyat. Ini adalah inti dari kritik ditujukan pada gerakan reformasi .

Era Reformasi membawa keseimbangan baru bagi Indonesia . Ini menjadi sintesis Lama dan Baru Orders , di mana kita telah berhasil mencapai keseimbangan.

Pertama , keseimbangan hubungan antara negara dan agama . Kami akhirnya bertemu konsensus bahwa kita dapat menggunakan prinsip-prinsip Islam dalam bangsa , seperti yang kita dapat menempatkan Pancasila sebagai panggung terbuka untuk identitas yang berbeda .

Kedua , kita mulai menemukan keseimbangan antara kebebasan dan kesejahteraan rakyat . Meskipun kita belum mencapai standar yang ideal belum, kita dapat mengatakan bahwa kami mendapatkan ada .

Ketiga , kami juga menemukan beberapa keseimbangan antara demokrasi dan pembangunan , antara kebebasan dan keamanan; antara otonomi negara dan integrasi nasional .

Kami telah berhasil melampaui tantangan eksistensial sebagai negara-bangsa dan mengubah diri dari negara yang rentan dengan sejarah pemberontakan dan konflik menjadi kuat negara-bangsa siap menghadapi gelombang sejarah baru .

Pada saat ini , kita memasuki gelombang ketiga sejarah Indonesia , dengan sopir utama yang berbeda dari perubahan . Sebelum kita harus menghadapi tantangan eksternal ( yaitu imperialisme , Perang Dingin ) , sekarang kita harus berurusan dengan satu set baru driver internal perubahan , yang merupakan perubahan signifikan dalam komposisi demografis .

Perubahan utamanya adalah karena munculnya kelas menengah baru. Kelompok ini akan mencapai 60 persen dari total populasi . Belakangan ini telah menjadi " mayoritas baru" di Indonesia . Ekonom dan ahli demografi merujuk kepada mereka sebagai " bonus demografi " atau " bonus demografi " .

Tantangan politik yang akan segera timbul akan menjadi kebutuhan mendesak untuk kategorisasi baru tidak didasarkan pada ideologi untuk mewakili kelompok baru ini . Polarisasi politik lama , terutama polarisasi ideologi Islam terhadap nasionalisme , sudah tidak relevan lagi . Kita harus mendefinisikan " Indonesia berikutnya " .

Penguatan kelas menengah baru ini telah berdampak besar-besaran pada struktur sosial serta meningkatkan daya tawar masyarakat vis - a-vis negara sipil. Selain itu , kelas menengah baru ini akan mendapatkan lebih percaya diri karena perekonomian dunia mulai bergerak menuju wilayah Asia.

Kami sekarang juga menyaksikan kelahiran generasi demokrasi asli, generasi yang hanya mengalami demokrasi. Mereka tidak pergi melalui Orde Baru ke era Reformasi . Mereka menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang diberikan dan bukan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan berdarah . Selanjutnya , untuk kelompok ini , keadaan kacau lanskap politik kita sekarang bisa memberi makan ke dalam rasa apatis terhadap demokrasi .

Karena ini gelombang baru didorong oleh perubahan demografi , karena itu, orientasi terhadap kemanusiaan sebagai puncak tersebut . Tidak harus ada lagi perbedaan antara negara dan masyarakat sipil . Negara harus kembali ke definisi inti sebagai organisasi sosial untuk menciptakan ketertiban . Konsolidasi sosial akan membantu pertumbuhan masyarakat .

Negara ini kemudian diuji kapasitas : Dapatkah negara berhasil memberikan perannya ? Otoritas negara tidak lagi relevan jika kapasitasnya untuk fungsi tersebut tidak memenuhi harapan ini mayoritas baru . Oleh karena itu , saya percaya , untuk mengatasi masalah ini kita perlu pendekatan kepemimpinan baru .

Pemilu 2014 tidak hanya akan mengakomodasi pergeseran kekuatan , tetapi juga pergeseran masuk gelombang sejarah baru . Sebuah pergeseran kekuatan tidak jarang dalam demokrasi .

Namun, apa yang lebih mendesak dan penting sekarang adalah memahami apa artinya ini bagi kita sebagai bangsa . Artinya, apa yang saya percaya , kita harus benar-benar menggali dan mendiskusikan sekarang.

Naskah ASli:

As the 2014 election nears, let us take a bird’s-eye view of the course of our history. The 2014 election is important not only because it signifies a power shift in government, but also because it serves as momentum for the third wave of Indonesian history.

The first wave occurred from the 17th century to the mid-20th century, which I refer to as the process of “becoming Indonesia”.

The second wave took place between proclamation of our independence in 1945 and today, as we have dealt with the issue of “becoming a modern nation-state”. From 2014 onward, we will enter a new wave in history, in which we will face entirely new challenges in amid a different environment.

The first wave in Indonesian history lasted around 300 years. After the integration of the colonies, which were referred to as the East Indies or Dutch East Indies, the name Indonesia evolved to become a political economic notion.

After a long history of struggle and suffering, the Indonesian people realized that imperialism could not be conquered by the divided power of the small kingdoms and many ethnic groupd that existed. The only way forward was to merge all the primordial nodes into one powerful force. It was then that the founding fathers of this nation made a spectrum shift.

It was not easy to pick one name to unify all the different ethnic groups, and the name Indonesia was a symbol of agreement, born from willingness and solidarity, as a result of a long history.

After the declaration of independence, Indonesia faced the challenge of finding a compatible system that was relevant with its history and culture. To become a modern nation, we needed a modern constitution, strong state institutions and culture of democracy.

For nearly 70 years, we have been debating the most suitable ideology, political, economic and government system for our country. This struggle to identify the right systems was the zeitgeist that stretched all the way through the Old Order, New Order until the Reform era.

This is also the reason behind the episodes of heated argument between various ideologies of Islam, nationalism, socialism and many others that we went through as a nation. We have survived long and tiring discussions over the relationship between religion and state and over the right economic system to implement.

Unfortunately, all these struggles were like a pendulum that swung from one extreme point to another. The New Order came as an antithesis of the Old Order. In this era we had found for ourselves a strong state institution but at the expense of freedom and liberty of the people. This was the core of the criticism aimed at the reform movement.

The Reform era brought a new equilibrium for Indonesia. It became the synthesis of the Old and New Orders, in which we have successfully attained balance.

First, the balance of the relationship between state and religion. We have finally met a consensus that we can use the Islamic principles within the nation, as we can put Pancasila as an open stage for different identities.

Second, we start to find a balance between the freedom and welfare of people. Even though we have not reach the ideal standard yet, we can safely say that we are getting there.

Third, we have also found some balance between democracy and development; between freedom and security; between state autonomy and national integration.

We have managed to surpass the existential challenge as a nation-state and transformed ourselves from a vulnerable country with a history of rebellion and conflict into a strong nation-state ready to face the new historical wave.

At the moment, we are entering the third wave of Indonesia history, with different main driver of change. Before we have had to deal with external challenges (i.e. imperialism, the Cold War), now we have to deal with a new set of internal drivers of change, which is the significant change in our demographic composition.

The ultimate change is due to the emergence of new middle class. This group will make up 60 percent of the total population. It has recently become “the new majority” in Indonesia. Economists and demography experts refer to them as “demographic bonus” or the “demographic dividend”.

The political challenge that will soon arise will be the urgent need for new categorizations not based on ideology to represent this new group. Old political polarizations, especially the ideological polarization of Islam versus nationalism, is no longer relevant. We have to define “the next Indonesia”.

The strengthening of this new middle class has impacted massively on social structures as well as improving the bargaining power of the civil society vis-a-vis the state. Moreover, this new middle class will gain more confidence as the world economy starts to move toward Asian territory.

We are now also witnessing the birth of native democracy generation, a generation that has only experienced democracy. They did not go through the New Order into the Reform era. They perceive democracy as something that is given and not something that is achieved through bloody struggles. Furthermore, for this group, the chaotic state of our political landscape right now could feed into a sense of apathy toward democracy.

As this new wave is driven by the demographic changes, therefore, orientation toward humanity as the pinnacle. There should no more divergence among the state and the civil society. The state should go back to its core definition as a social organization to create order. Social consolidation will help grow communities.

The state is then put to the test of capacity: Can the state successfully deliver its role? The state authority is no longer relevant if its capacity to function does not meet the expectancy of this new majority. Hence, I believe, to address this issue we would need a new leadership approach.

The 2014 election will not only accommodate the shift in power, but also the incoming shift of this new historical wave. A shift in power is not uncommon in democracy.

However, what is more pressing and important right now is to understand what this means to us as a nation. That is, what I believe, we must really dig into and discuss right now.

*The writer is president of theProsperous Justice Party (PKS).

(Terbit di koran The Jakarta Post edisi 19 Nov 2013 dan edisi ONLINE)

Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”

Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman civitas academica.

Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .
Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~
Pidato Erica tersebut juga dimuat di blog America dan mendapat tanggapan luas oleh publik di sana. Silakan baca di sini:http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html
Kalau ingin melihat video pidato Erica di Youtube, klik ini:atau masuk pada pranala berikut: http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts&feature=player_embedded#!