RUANG IKLAN

SILAKAN BERIKLAN DI BLOG SAYA.

Ruang Iklan

Space ini bisa Anda gunakan untuk mengiklankan produk Anda

BUKU KOMPUTER AKUNTASNSI ACCURATE ONLINE

SETUP AWAL DATA BASE- INPUT TRANSAKSI-PENYAJIAN LAPOAN KEUANGAN

Tampilkan postingan dengan label TARBIYYAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TARBIYYAH. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Desember 2013

KAJIAN: DASAR-DASAR ISLAM

Bismillah...
Sahabat pembaca, insyaAllah saya akan menampilkan seri kajian dasar-dasar Islam. Semoga bermanfaat untuk kita semua.  Agama yang kita cintai ini akan menuntun kita menapaki kehidupan yang baik. Jika tanpa ISLAM manusia sudah bisa menempuh kemuliaan hidup tentu saja Allah tidak perlu menurunkan Nabi dan Kitab untuk menyampaikan risalah ISLAM kepada kita semua.

Sebagai cuplikan materi mendatang saya sajikan gambar-gambar power point nya




Sabtu, 30 November 2013

Ijinkan Aku Menjadi Bidadari Surga-Mu

Ukhti, pernahkan dalam hatimu terbersit untuk menjadi bidadari dunia bahkan akhirat? Menjadi bidadari yang dicari insan shaleh untuk menemaninya menggapai surga? Menjadi seorang wanita anggun nan jelita namun sulit digenggam.Yaa Rabbi..Ajarilah kami bagaimana memberi sebelum meminta,berfikir sebelum bertindak,santun dalam berbicara,tenang ketika gundah,diam ketika emosi melanda,bersabar dalam setiap ujian.Jadikanlah kami orang yg selem...but Abu Bakar Ash-Shiddiq,sebijaksana Umar bin Khattab,sedermawan Utsman bin Affan,sepintar Ali bin Abi Thalib,sesederhana Bilal,setegar Khalid bin Walid radliallahuanhum..Aamiin ya Rabbalalamin.

Ukhti, pernahkan dalam hatimu terbersit untuk menjadi bidadari dunia bahkan akhirat? Menjadi bidadari yang dicari insan shaleh untuk menemaninya menggapai surga? Menjadi seorang wanita anggun nan jelita namun sulit digenggam laki-laki yang tak halal baginya?

Terbayang di pelupuk mata, surga yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Taala yang menantikan para bidadari dunia untuk segera memasukinya. Tak diindahkannya duniawi dengan segala kemewahannya yang selalu membawa pada kelalaian apalagi dunia. Tak maukah saudariku menjadi salah satunya?

Ukhti, betapa berat menjadi bidadari di surga-Nya bagi mereka yang enggan menjalankan aturan-aturan yang ditetapkan-Nya. Namun begitu mudah bagi mereka yang dengan segenap hatinya mengabdikan dirinya untuk Robb dan Rosul-Nya.
Bila ia belum bersuami, maka ia dengan penuh keikhlasan mengabdi pada orang tuanya, tak lupa aurat ditutupnya, kehormatan diri dijaganya, ini semua demi Dzat yang memberikannya kehidupan di dunia.

Namun jika ia sudah bersuami, bergembiralah hatinya untuk berbakti pada suami, ia tak lupa untuk menjaga kehormatan dan harta suaminya. Ia selalu meminta ijin pada suami bila harus keluar rumah dan tentu saja ia akan mentaati perintah suami selama tidak melanggar ketetapan Robbnya.

Aku yakin, kaulah salah satu dari mereka saudariku muslimah.
Sungguh surga yang dijanjikan-Nya akan selalu menanti kehadiranmu ukhti, jika engkau tak berputus asa atas ketetapan-Nya. Allah Subhanahu Wa Taala akan selalu bersamamu, apabila engkau mau bersabar dan istiqomah di jalan Nya.

Betapa bahagianya bila engkau sudah dapat memindahkan kehidupan surgawi ke dalam jiwamu, maka kau enggan melihat keindahan duniawi yang diliputi kemaksiatan. Matamu, telingamu, lidahmu, tanganmu, kakimu, selalu kau jaga demi harapanmu pada Robbmu.

Yaa Robb.. Ijinkan aku menjadi bidadari surga-Mu,Tak mampu bila jiwa ini harus mengenal panasnya api neraka-Mu..
Tak sanggup bila aku harus jauh dari-Mu..
Yaa Robb..Ijinkan aku menjadi bidadari surga-Mu..
Kuatkanlah imanku..kokohkanlah jiwa ini di jalan-Mu..
Dengan Rahmat-Mu,ku mohon pertolongan-Mu..
Wallahu alam bish shawwab

Semoga bermanfaat..
Sungguh bahagia insan yang telah menemukan cinta sejatinya.. ibarat tasbih & benang pengikatnya.. terajut menjadi satu untaian yang selalu disentuh satu demi satu oleh insan mulia yang bibirnya basah akan cinta kepada Rabb-Nya

Kebenaran datangnya dari Allah Azza Wa jalla,kekurangan dari pribadi ana dan ana hanya menyampaikan apa yang diamanahkan Allah Azza wa jalla..kesempurnaan hanya Milik Allah Azza Wa Jalla..
Wallahùalam bíshawab Wabíllahí taùfík walhídayah,

Jumat, 22 November 2013

Distorsi Penegakkan Syariat Islam

Soal penegakkan syari'at Islam, perlu kita pahami dulu apa hakekatnya. Karena istilah ini telah mengalami distorsi luarbiasa dalam perspektif politik Indonesia. (halaman. 108)

Distorsi pertama, orang selalu menganggap bahwa syari'at Islam itu adalah aspek hukum dari Islam dan secara khusus aspek hukum itu adalah hukum pidana. Padahal siapapun yang mempelajari dengan baik masalah-masalah hukum dalam Islam, akan menemukan fakta bahwa dari 6666 ayat al Qur'an, menurut Imam as Suyuthi, hanya sekitar 500 ayat yang berkaitan dengan hukum. Jika kita lihat hukum pidana dalam Islam, itu hanya terkait dengan 5 poin saja: berzina, mencuri, dan lain-lain. Berbeda dengan hukum positif, berzina tidak dimasukkan dalam aspek pidana kecuali pemerkosaan. (halaman. 108-109)


Penerapan hukum ini tidak mungkin terjadi kecuali masyarakat itu sudah menjadi baik. Oleh karena itu menurut Ibn Khaldun, "Negara hanya diperlukan kalau jumlah orang jahat itu masih banyak." Kalau semua masyarakat sudah baik pada umumnya, maka negara itu tidak diperlukan. Jadi buat apa orang shalih kita atur-atur. (halaman. 109)

Kalau kita bahas tentang distorsi, distorsi tentang syari'at ini lebih parah lagi, orang mempersempitnya begitu saja. Sekarang kalau misalnya semua orang tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh. Tapi semua miskin, tidak bisa makan, dan tidak punya lapangan kerja. Dalam kondisi seperti itu, saya tidak dapat membayangkan kalau ada deklarasi negara Republik Islam Indonesia. (halaman. 109)


Setelah 10 tahun berkuasa di Madinah, Rasulullah tidak memberi nama Madinah sebagai negara Islam. Sebab jauh lebih penting meningkatkan kualitas hidup umat. Menurut saya, hal ini tidak perlu ada pemisahan lagi. Faktanya 90% yang hidup di atas tanah Indonesia ini adalah muslim, yang tidak perlu lagi memisahkan identitas: Saya sebagai muslim dan saya sebagai orang Indonesia. Tidak perlu. Karena kita adalah bangsa Indonesia dan saya muslim. Titik. Nama negaranya cukup seperti itu: Republik Indonesia. (halaman. 109-110)

Dalam al Qur'an itu ada 114 surat. Surat Madaniyah yang sebagian besarnya itu berbicara tentang hukum hanya 28 surat dari 114 surat. Artinya menerapkan hukum itu jauh lebih mudah, apabila masyarakat sudah siap. (halaman. 111)

Berbicara tentang Islam, mengomunikasikannya secara de fakco lebih mudah, daripada mengomunikasikannya secara teori. (halaman. 112)

Dulu pada zaman Rasulullah, sebaik-baiknya kurun, siapa menteri keuangannya pada masa itu? Siapa bendaharanya di zaman itu? Tidak ada yang namanya bendahara. Tidak ada yang namanya kas negara, karena semua uang yang masuk habis terbagi. (halaman. 113-114)

Yang namanya baitul maal itu baru ada di zaman Umar bin Khaththab. Hal ini ada karena setelah harta rampasan perang dibagi, saldonya masih banyak. Jadi orang ini berpikir bagaimana caranya untuk menyimpan saldo ini. Akhirnya mereka mencari ide tentang baitul maal, itu bukan dari Islam tapi berasal dari Persia. Waktu perang melawan Persia mereka melihat ada gudang-gudang tempat penyimpanan harta benda. Itu yang dimaksud dengan baitul maal. (Halaman. 114)


Oleh karena itu, saya lebih tertarik pada bagaimana kita meningkatkan leverage (pengaruh) kita sebagai umat dan leverage untuk memimpin orang. (halaman. 114)

[Seri Pemikiran Anis Matta: Integrasi Politik dan Dakwah, terbitan DPP Bidang Arsip dan Sejarah, tahun 2007]


Oleh : H.D Gumilang

Rabu, 20 November 2013

Welcoming the third wave of Indonesian history | Kolom Anis Matta di The Jakarta Post

Pemilu 2014 semakin dekat, mari kita pemandangan luas-mata dari sejarah kita . Pemilu 2014 ini penting bukan hanya karena itu menandakan pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan , tetapi juga karena berfungsi sebagai momentum untuk gelombang ketiga sejarah Indonesia .

Gelombang pertama terjadi pada abad 17 ke abad pertengahan ke-20 , yang saya sebut sebagai proses " menjadi Indonesia " .

Gelombang kedua berlangsung antara proklamasi kemerdekaan kita pada tahun 1945 dan hari ini , seperti yang kita telah berurusan dengan masalah " menjadi negara-bangsa modern " . Dari tahun 2014 dan seterusnya , kita akan memasuki gelombang baru dalam sejarah , di mana kita akan menghadapi tantangan yang sama sekali baru di tengah lingkungan yang berbeda .

Gelombang pertama dalam sejarah Indonesia berlangsung sekitar 300 tahun . Setelah integrasi koloni , yang disebut sebagai Hindia Timur atau Hindia Belanda , nama Indonesia berkembang menjadi gagasan ekonomi politik.

Setelah sejarah panjang perjuangan dan penderitaan , rakyat Indonesia menyadari imperialisme yang tidak bisa ditaklukkan oleh kekuatan dibagi dari kerajaan kecil dan groupd etnis banyak yang ada . Satu-satunya cara ke depan adalah untuk menggabungkan semua node primordial menjadi satu kekuatan yang kuat . Saat itulah para pendiri bangsa ini membuat pergeseran spektrum .

Itu tidak mudah untuk memilih satu nama untuk menyatukan semua kelompok etnis yang berbeda , dan nama Indonesia adalah simbol perjanjian , lahir dari kemauan dan solidaritas , sebagai akibat dari sejarah panjang .

Setelah deklarasi kemerdekaan , Indonesia menghadapi tantangan untuk menemukan sistem yang kompatibel yang relevan dengan sejarah dan budaya . Untuk menjadi bangsa yang modern, kami membutuhkan sebuah konstitusi modern, lembaga-lembaga negara yang kuat dan budaya demokrasi .

Selama hampir 70 tahun , kami telah memperdebatkan ideologi yang paling cocok , sistem politik , ekonomi dan pemerintahan untuk negara kita . Perjuangan ini untuk mengidentifikasi sistem yang tepat adalah zeitgeist yang membentang sepanjang jalan melalui Orde Lama , Orde Baru hingga era Reformasi .

Ini juga merupakan alasan di balik episode perdebatan sengit antara berbagai ideologi Islam , nasionalisme , sosialisme dan banyak orang lain yang kita pergi melalui sebagai bangsa . Kami telah selamat diskusi panjang dan melelahkan selama hubungan antara agama dan negara dan atas sistem ekonomi yang tepat untuk melaksanakan .

Sayangnya , semua perjuangan ini adalah seperti pendulum yang berayun dari satu titik ekstrem ke yang lain . Orde Baru sebagai antitesis Orde Lama . Di era ini kita telah menemukan untuk diri kita sendiri lembaga negara yang kuat tetapi dengan mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan rakyat. Ini adalah inti dari kritik ditujukan pada gerakan reformasi .

Era Reformasi membawa keseimbangan baru bagi Indonesia . Ini menjadi sintesis Lama dan Baru Orders , di mana kita telah berhasil mencapai keseimbangan.

Pertama , keseimbangan hubungan antara negara dan agama . Kami akhirnya bertemu konsensus bahwa kita dapat menggunakan prinsip-prinsip Islam dalam bangsa , seperti yang kita dapat menempatkan Pancasila sebagai panggung terbuka untuk identitas yang berbeda .

Kedua , kita mulai menemukan keseimbangan antara kebebasan dan kesejahteraan rakyat . Meskipun kita belum mencapai standar yang ideal belum, kita dapat mengatakan bahwa kami mendapatkan ada .

Ketiga , kami juga menemukan beberapa keseimbangan antara demokrasi dan pembangunan , antara kebebasan dan keamanan; antara otonomi negara dan integrasi nasional .

Kami telah berhasil melampaui tantangan eksistensial sebagai negara-bangsa dan mengubah diri dari negara yang rentan dengan sejarah pemberontakan dan konflik menjadi kuat negara-bangsa siap menghadapi gelombang sejarah baru .

Pada saat ini , kita memasuki gelombang ketiga sejarah Indonesia , dengan sopir utama yang berbeda dari perubahan . Sebelum kita harus menghadapi tantangan eksternal ( yaitu imperialisme , Perang Dingin ) , sekarang kita harus berurusan dengan satu set baru driver internal perubahan , yang merupakan perubahan signifikan dalam komposisi demografis .

Perubahan utamanya adalah karena munculnya kelas menengah baru. Kelompok ini akan mencapai 60 persen dari total populasi . Belakangan ini telah menjadi " mayoritas baru" di Indonesia . Ekonom dan ahli demografi merujuk kepada mereka sebagai " bonus demografi " atau " bonus demografi " .

Tantangan politik yang akan segera timbul akan menjadi kebutuhan mendesak untuk kategorisasi baru tidak didasarkan pada ideologi untuk mewakili kelompok baru ini . Polarisasi politik lama , terutama polarisasi ideologi Islam terhadap nasionalisme , sudah tidak relevan lagi . Kita harus mendefinisikan " Indonesia berikutnya " .

Penguatan kelas menengah baru ini telah berdampak besar-besaran pada struktur sosial serta meningkatkan daya tawar masyarakat vis - a-vis negara sipil. Selain itu , kelas menengah baru ini akan mendapatkan lebih percaya diri karena perekonomian dunia mulai bergerak menuju wilayah Asia.

Kami sekarang juga menyaksikan kelahiran generasi demokrasi asli, generasi yang hanya mengalami demokrasi. Mereka tidak pergi melalui Orde Baru ke era Reformasi . Mereka menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang diberikan dan bukan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan berdarah . Selanjutnya , untuk kelompok ini , keadaan kacau lanskap politik kita sekarang bisa memberi makan ke dalam rasa apatis terhadap demokrasi .

Karena ini gelombang baru didorong oleh perubahan demografi , karena itu, orientasi terhadap kemanusiaan sebagai puncak tersebut . Tidak harus ada lagi perbedaan antara negara dan masyarakat sipil . Negara harus kembali ke definisi inti sebagai organisasi sosial untuk menciptakan ketertiban . Konsolidasi sosial akan membantu pertumbuhan masyarakat .

Negara ini kemudian diuji kapasitas : Dapatkah negara berhasil memberikan perannya ? Otoritas negara tidak lagi relevan jika kapasitasnya untuk fungsi tersebut tidak memenuhi harapan ini mayoritas baru . Oleh karena itu , saya percaya , untuk mengatasi masalah ini kita perlu pendekatan kepemimpinan baru .

Pemilu 2014 tidak hanya akan mengakomodasi pergeseran kekuatan , tetapi juga pergeseran masuk gelombang sejarah baru . Sebuah pergeseran kekuatan tidak jarang dalam demokrasi .

Namun, apa yang lebih mendesak dan penting sekarang adalah memahami apa artinya ini bagi kita sebagai bangsa . Artinya, apa yang saya percaya , kita harus benar-benar menggali dan mendiskusikan sekarang.

Naskah ASli:

As the 2014 election nears, let us take a bird’s-eye view of the course of our history. The 2014 election is important not only because it signifies a power shift in government, but also because it serves as momentum for the third wave of Indonesian history.

The first wave occurred from the 17th century to the mid-20th century, which I refer to as the process of “becoming Indonesia”.

The second wave took place between proclamation of our independence in 1945 and today, as we have dealt with the issue of “becoming a modern nation-state”. From 2014 onward, we will enter a new wave in history, in which we will face entirely new challenges in amid a different environment.

The first wave in Indonesian history lasted around 300 years. After the integration of the colonies, which were referred to as the East Indies or Dutch East Indies, the name Indonesia evolved to become a political economic notion.

After a long history of struggle and suffering, the Indonesian people realized that imperialism could not be conquered by the divided power of the small kingdoms and many ethnic groupd that existed. The only way forward was to merge all the primordial nodes into one powerful force. It was then that the founding fathers of this nation made a spectrum shift.

It was not easy to pick one name to unify all the different ethnic groups, and the name Indonesia was a symbol of agreement, born from willingness and solidarity, as a result of a long history.

After the declaration of independence, Indonesia faced the challenge of finding a compatible system that was relevant with its history and culture. To become a modern nation, we needed a modern constitution, strong state institutions and culture of democracy.

For nearly 70 years, we have been debating the most suitable ideology, political, economic and government system for our country. This struggle to identify the right systems was the zeitgeist that stretched all the way through the Old Order, New Order until the Reform era.

This is also the reason behind the episodes of heated argument between various ideologies of Islam, nationalism, socialism and many others that we went through as a nation. We have survived long and tiring discussions over the relationship between religion and state and over the right economic system to implement.

Unfortunately, all these struggles were like a pendulum that swung from one extreme point to another. The New Order came as an antithesis of the Old Order. In this era we had found for ourselves a strong state institution but at the expense of freedom and liberty of the people. This was the core of the criticism aimed at the reform movement.

The Reform era brought a new equilibrium for Indonesia. It became the synthesis of the Old and New Orders, in which we have successfully attained balance.

First, the balance of the relationship between state and religion. We have finally met a consensus that we can use the Islamic principles within the nation, as we can put Pancasila as an open stage for different identities.

Second, we start to find a balance between the freedom and welfare of people. Even though we have not reach the ideal standard yet, we can safely say that we are getting there.

Third, we have also found some balance between democracy and development; between freedom and security; between state autonomy and national integration.

We have managed to surpass the existential challenge as a nation-state and transformed ourselves from a vulnerable country with a history of rebellion and conflict into a strong nation-state ready to face the new historical wave.

At the moment, we are entering the third wave of Indonesia history, with different main driver of change. Before we have had to deal with external challenges (i.e. imperialism, the Cold War), now we have to deal with a new set of internal drivers of change, which is the significant change in our demographic composition.

The ultimate change is due to the emergence of new middle class. This group will make up 60 percent of the total population. It has recently become “the new majority” in Indonesia. Economists and demography experts refer to them as “demographic bonus” or the “demographic dividend”.

The political challenge that will soon arise will be the urgent need for new categorizations not based on ideology to represent this new group. Old political polarizations, especially the ideological polarization of Islam versus nationalism, is no longer relevant. We have to define “the next Indonesia”.

The strengthening of this new middle class has impacted massively on social structures as well as improving the bargaining power of the civil society vis-a-vis the state. Moreover, this new middle class will gain more confidence as the world economy starts to move toward Asian territory.

We are now also witnessing the birth of native democracy generation, a generation that has only experienced democracy. They did not go through the New Order into the Reform era. They perceive democracy as something that is given and not something that is achieved through bloody struggles. Furthermore, for this group, the chaotic state of our political landscape right now could feed into a sense of apathy toward democracy.

As this new wave is driven by the demographic changes, therefore, orientation toward humanity as the pinnacle. There should no more divergence among the state and the civil society. The state should go back to its core definition as a social organization to create order. Social consolidation will help grow communities.

The state is then put to the test of capacity: Can the state successfully deliver its role? The state authority is no longer relevant if its capacity to function does not meet the expectancy of this new majority. Hence, I believe, to address this issue we would need a new leadership approach.

The 2014 election will not only accommodate the shift in power, but also the incoming shift of this new historical wave. A shift in power is not uncommon in democracy.

However, what is more pressing and important right now is to understand what this means to us as a nation. That is, what I believe, we must really dig into and discuss right now.

*The writer is president of theProsperous Justice Party (PKS).

(Terbit di koran The Jakarta Post edisi 19 Nov 2013 dan edisi ONLINE)

Selasa, 10 September 2013

Krisis Mesir, Nasi telah Menjadi Bubur

SUmber : www.hidayatullah.com 

TEPAT kiranya komentar yang dikemukakan pakar independen Mesir, Fahmi Huweidi yang menggambarkan ``Rabu Hitam`` pembantaian pengunjukrasa damai pro legitimasi Presiden terguling, Mohammad Mursy oleh militer dan aparat keamanan sebagai sejarah hitam Mesir. ``Telah terjadi sesuatu yang terlarang (al-mahzhour), warga Mesir membunuh warga Mesir lainnya, sehingga darah kembali menggenang di daratan, Rabu kemarin adalah sejarah hitam dalam sejarah Mesir,`` paparnya, Kamis (15/8/2013).

Salah satu pakar Mesir ini menyebutkan bahwa penyeru cara-cara kekerasan telah mencapai targetnya dengan membubarkan pengunjukrasa duduk, menggunakan senjata otomatik, panser dan penembak jitu (sniper). ``Mereka berdalih bahwa pengunjukrasa tersebut adalah teroris yang menyimpan senjata, roket dan senjata kimia, tapi setelah dilakukan pembubaran ternyata senjata mereka hanyalah batu-bata dan doa,`` tandasnya.

Melihat cara-cara pembubaran massa yang dilakukan aparat keamanan, tentara dan kelompok bersenjata yang disewa, maka tujuannya bukan semata-mata pembubaran akan tetapi pembantaian. ``Tidak dapat difahami juga mengapa rumah sakit lapangan yang digunakan untuk menampung dan pengobatan korban massa yang luka-luka juga dibakar,`` komentar sejumlah pengamat independen setempat terkait peristiwa berdarah tersebut.

Dan yang nampak aneh pula ``reaksi`` atas pembantaian tersebut ditujukan kepada tempat ibadah Kristen Koptik di sejumlah kota upper (bagian hulu) Mesir dimana dilaporkan sejumah gereja dibakar massa tak dikenal. Seperti biasa tuduhan dialamatkan kepada kubu Islamis dengan alasan pemimpin Kristen Koptik Mesir ikut merestui kudeta terhadap Presiden terpilih Mursy.

Namun dari modus reaksi tersebut  dicurigai bahwa pelakunya adalah orang-orang bayaran yang direkayasa Amn Daulah (Keamanan Negara) yang biasa mereka lakukan pada era rezim lama termasuk contoh kecil serangan atas gereja di Iskandariyah pada Januari 2011 sebelum meletus revolusi rakyat 25 Januari. Karenanya Koalisi Nasional pendukung legitimasi Presiden terguling segera mengeluarkan pernyataan, membantah bila para pelaku perusakan dan pembakaran gereja, kantor polisi serta instalasi umum adalah dari anggotanya.

Kecurigaan pembakaran tersebut direkayasa juga datang dari beberapa pemuka Koptik di hulu Mesir karena selain bersamaan waktunya dengan pembubaran massa di Rab`ah dan Al-Nahdah, juga modusnya sama antara gereja yang dibakar di satu tempat dengan gereja lainnya di tempat lain yang berjauhan. Untuk menghadapi rekayasa itu, Koalisi Nasional pendukung Presiden terpilih akhirnya ikut berjaga-jaga di setiap gereja yang dilalui pengunjukrasa dengan membuat pagar betis.

Pembakaran sejumlah tempat ibadah Koptik tersebut dikhawatirkan sebagai upaya pihak-pihak tertentu untuk menyulut konflik sektarian guna mengalihkan perhatian rakyat terhadap kekacauan politik saat ini. ``Diantara catatan saya (tentang Rabu hitam) adalah ketika kabinet menyampaikan selamat kepada Kementerian Dalam Negeri atas keberhasilan pembubaran tersebut dengan melimpahkan tangungjawab pihak lain sebagai penyebab pembantaian, maka seluruh anggota kabinet terlibat pembantaian dan tangan mereka terkontaminasi darah korban,`` papar Huweidi lagi dalam artikelnya di harian al-Shorouk.

Hingga saat ini, jumlah korban jiwa yang tentunya hampir semuanya adalah warga sipil pendukung Presiden Mursy masih simpang siur karena data resmi berusaha untuk memperkecil jumlahnya mengantisipasi protes masyarakat internasional, sedangkan dari pihak Koalisi Nasional termasuk Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) menyebutkan data yang sangat mencengangkan, yang apabila data tersebut benar mengingatkan kembali terhadap  aksi pembantaian warga Palestina yang terjadi di kamp Shabra dan Shatila Libanon, oleh Jenderal Ariel Sharon pada 1982.

Data resmi Kementerian Kesehatan Mesir menyebut jumlah korban jiwa berkisar antara 600 - 700 orang termasuk 48 orang aparat keamanan dan tentara serta lebih 5 ribu lainnya luka-luka. Kematian aparat keamanan dan tentara ini yang selalu ditonjolkan oleh hampir seluruh media massa terkemuka Mesir yang sejak semula memmang corong rezim lama (Mubarak) yang sejatinya bukan hanya sebatas anti IM, akan tetapi anti terhadap revolusi pemuda secara keseluruhan.

Sementara data dari Koalisi Nasional pendukung legitimasi Presidem Mursy menyebutkan angka korban jiwa lebih dari 2.500 orang disamping lebih 13 ribu lainnya dilaporkan luka-luka. Bila melihat dari aksi pembubaran yang demikian ganas dan dilakukan dalam waktu yang sangat singkat menghadapi jumlah massa yang demikian melimpah ruah yang memadati dua lapangan utama yakni Rab`ah al-Adawiyah dan Al-Nahdah, maka besar kemungkinan korban jiwa mencapai ribuan orang.

Terlepas dari data mana yang paling akurat tentang jumlah korban jiwa akibat aksi kekerasan tersebut, yang jelas pembantaian dengan dalih apapun dengan korban jiwa dari pihak manapun juga selama mereka melakukan aksi secara damai tidak dibenarkan secara hukum manapun. Siapa pun yang menjadi korban baik yang mengusung kepentingan liberal sekuler, atapun kubu Islamis harus dikutuk tidak bisa memilah-milah sebagaimana yang selalu dilakukan oleh para pemimpin Barat pada umumnya.

Ketika segelintir orang dari kubu sekuler pengusung kepentingan Barat menjadi korban maka dunia yang dimotori oleh media massa zionisme internasional gempar seperti yang terjadi di Turki belum lama ini, atau beberapa korban jiwa yang jatuh di pihak oposisi penentang Presiden Mursy menjelang kudeta militer. Sementara pembantaian Rabu hitam (14/8/2013) lalu dengan korban jiwa ratusan orang, tapi mereka bukan pengusung kepentingan Barat dan Zionisme, kurang mendapat respon masyarakat internasional, kecuali sejumlah negara Islam itu pun masih ditingkat rakyat bukan di tingkat resmi kecuali Turki.

Karenanya, sudah pada tempatnya keheranan yang dikemukakan Wakil Ketua MPR RI, Hajriyanto Y. Thohari atas sikap dunia yang masih adem ayem atas pembantaian di Kairo yang mirip peristiwa Tiananmen, China. "Kejadian di Kairo tidak kurang parahnya dengan di Tiananmen di China. Ini aneh, dunia internasional tidak kecam itu. Padahal, dalam peristiwa Tiananmen, semua mengecam," ujar Hajriyanto (Kompas, 15/8/2013).
Politisi Partai Golkar itu meminta Pemerintah Indonesia bersikap aktif sebagai negara Muslim terbesar di dunia untuk menengahi persoalan di Mesir diantaranya dengan mendorong solusi jalan tengah yakni mengembalikan Presiden Mursi yang terpilih melalui proses pemilu.  "Indonesia bisa menawarkan solusi dengan mendorong pengembalian Mursi sebagai presiden simbolik. Di sisi lain, presiden simbolik itu juga perlu menunjuk perdana menteri untuk menjalani pemerintahannya," paparnya seperti dikutip Kompas.

Masukan Thohari tersebut sama dengan tawaran yang telah disampaikan oleh sejumlah tokoh bijak (hukamaa) Mesir jauh sebelum ``Rabu berdarah`` itu terjadi, namun kelihatannya tidak digubris oleh pemerintah transisi yang menilai masukan tersebut tidak mungkin dilaksanakan dan tetap menekan pihak lain (IM) untuk menerima realita. Tapi apabila ada desakan internasional, bisa saja jalan tengah tersebut dapat diterima semua pihak apalagi dalam situasi pasca ``Rabu berdarah`` yang dikhawatirkan semakin memancing kerusuhan meluas.

Tak terkendali
Situasi di negeri Lembah Nil itu pasca Rabu berdarah tersebut oleh sebagian pengamat Arab diibaratkan sebagai kebakaran besar yang dapat menyulut api kerusuhan ke seantero negeri dengan situasi kemanan yang semakin tak terkendali. Pihak-pihak bertikai saling melimpahkan tanggung jawab sebagai penyebab tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern dan sejarah militer negeri ini.

Situasi yang semakin tidak terkendali tersebut dapat disaksikan pula pada Jum`ah al-Ghadab (Jum`at kemarahan) dua hari setelah peristiwa Rabu berdarah. Pada Jum`at kemarahan tersebut, tragedi serupa kembali terjadi menimbulkan ratusan orang korban jiwa di pihak pendukung legitimasi Presiden Mursy, sementara di daerah-daerah lainnya terjadi pula aksi kekerasan serupa.

Mungkin belum selesai pelaksanaan shalat ghaib setelah shalat Jum`at (16/8/2013) bagi para korban yang gugur dalam Rabu berdarah tersebut di banyak negara Arab dan Muslim lainnya, ratusan korban jiwa sudah berjatuhan lagi terutama di Ramsis, salah satu pusat kota Kairo. Jumlah korban yang demikian besar, kelihatannya tidak menyurutkan Koalisi Nasional pendukung legitimasi Presiden terpilih untuk melanjutkan unjukrasa setiap hari.

Situasi di negeri Al-Azhar tersebut pasca Rabu berdarah ibaratnya bagaikan nasi telah menjadi bubur karena pihak-pihak yang terlibat konflik politik semakin mengenyampingkan dialog di meja perundingan. Militer dan aparat keamanan siap melakukan pembantaian kapan dan dengan jumlah berapa pun, sedangkan di pihak yang merasa terzalimi juga siap mempersembahkan ribuan korban lagi demi memperjuangkan keyakinan mereka untuk mengenyahkan kediktatoran yang sudah mengakar selama ini.

Dukungan beberapa pemimpin Arab terhadap aksi militer menumpas lewat jalan kekerasan terhadap apa yang mereka klaim sebagai anasir terorisme dipastikan akan menyebabkan genangan darah di negeri terbesar Arab tersebut akan semakin mengerikan ke depan. Sangat ironis, klaim terorisme  sudah menjadi jastifikasi untuk melakukan pembantaian di kawasan, seperti halnya di Suriah dimana rezim Bashar tidak ragu-ragu membantai ratusan ribu jiwa rakyatnya dengan dalih melawan terorisme.

Sejumlah pengamat menilai, pemandangan di negeri Nil itu menunjukkan bahwa para pemimpin negeri tersebut gagal hingga saat ini dalam percobaan manajemen kekuasaan pasca revolusi melawan rezim diktator dan percobaan dialog sebagai sistem dan etika berpolitik untuk melindungi negara dan bangsa. ``Merupakan bencana bila kekerasan sebagai jalan merebut kekuasaan tapi dengan mengatasnamakan legitimasi dan membela pendapat masing-masing,`` papar Zaher Qosheibati, pengamat Arab dalam opininya di harian Al-Hayat, Kamis (15/8/2013).

Situasi yang semakin keruh seperti ini benar-benar dapat dimanfaatkan oleh sisa-sisa pendukung rezim lama baik di tubuh militer maupun sipil dan pengusaha yang kebetulan menguasai media massa yang sangat besar pengaruhnya dalam membentuk opini. Salah satu opini yang berkembang saat ini adalah pembubaran IM, yang jelas-jelas melanggar ``petan jalan`` yang diketengahkan militer saat penggulingan Presiden terpilih secara demokratis.

Sangat tidak adil bila masyarakat internasional, juga LSM-LSM terkait internasional dan setempat hanya bersikap sebagai penonton setia tanpa bergerak menghentikan pertumpahan darah tersebut. Paling tidak mereka harus segera melakukan intervensi lewat upaya-upaya penengah bila terasa tidak mungkin untuk melimpahkan kutukan atau menyalahkan pihak tertentu sebagai penyebab tragedi kemanusiaan yang belum pernah terjadi dalam sejarah modern negeri tersebut.

Upaya-upaya penengah sebelumnya baik oleh sejumlah tokoh internasional maupun setempat  menurut beberapa sumber gagal karena hanya ditujukan untuk menekan satu pihak saja  dan sumber lainnya menyebutkan karena semua pihak bersikeras pada posisi masing-masing tanpa mau mundur walaupuan hanya satu meli meter. Tentunya, publik ingin mengetahui kejadian sesungguhnya menghadapi simpang siur informasi tersebut.

Setelah Rabu berdarah, sebagian pihak menyebutkan bahwa bargaining position (posisi tawar) Koalisi Nasional pendukung Presiden terpilih terutama IM sudah semakin lemah sehingga harus menerima kenyataan di lapangan. Tapi sebagian lainnya menyebutkan bahwa posisi tawar koalisi ini justru semakin kuat karena tragedi pembantaian Rabu berdarah yang berlanjut pada Jum`at kemarahan dan kemungkinan pada hari-hari mendatang, semakin mencoreng militer.

Tapi polemik semacam ini bukan kebutuhan sangat mendesak yang diharapkan oleh rakyat negeri tersebut, sebab kebutuhan mendesak adalah penghentian pertumpahan darah agar tidak terjerumus ke dalam perang saudara sebagaimana yang dinanti-nantikan musuh Mesir terutama Israel. Bau skenario Aljazair sudah semikian kentara yang apabila terjadi akan meluluhkan negeri ini sehingga pupuslah kekuatan Arab dikarenakan Mesir lah satu-satunya kekuatan Arab yang masih tersisa saat ini.

Cuci tangan
Mungkin langkah awal yang sangat mendesak adalah perlunya penyelidikan pihak netral atas peristiwa pada Rabu berdarah tersebut agar publik benar-benar mengetahui secara akurat dan yakin apa dan bagaimana peristiwa berdarah ini dapat terjadi. Pasalnya yang berkembang pada opini umum sekarang sebagai bentukan media massa yang hampir seluruhnya memojokkan Koalisi Nasional dan IM, hanya melimpahkan tanggungjawab kepada IM dan mendukung kelanjutan aksi militer.

Publik juga harus mengetahui kebenaran klaim militer tentang berbagai solusi damai yang telah ditawarkan kepada IM baik yang dilakukan oleh penengah dalam negeri maupun sejumlah tokoh internasional. Para penengah juga harus jujur dengan hasil mediasi mereka pihak mana sebenarnya yang menutup pintu solusi damai.

``Banyak orang yang tidak mengerti apa yang terjadi dan bagaimana bisa terjadi apalagi di tengah upaya sebagian kekuatan politik yang ingin membingungkan opini umum. Lembaga pengadilan akan berperan besar untuk menyiapkan penyelidikan secara transparan dan LSM-LSM terkait juga harus berpartisipasi bukan sebagai penonton,`` papar Amru Khofaji, seorang analis dalam artikelnya di laman harian Al-Shorouk, Mesir.

Menurut Khofaji, apabila ada sebagian pihak sengaja menyembunyikan kejadian sesungguhnya maka ingatlah bahwa publik tidak akan memaafkan lagi. ``Hormatilah publik yang selama ini kalian jadikan landasan dan harus berani menyatakan kejadian sesungguhnya meskipun pahit karena inilah langkah awal keluar dari dilemma,`` tandasnya lagi.

Idealnya memang apa yang dikemukakan oleh salah satu pengamat  independen diatas, bukan hanya sebatas pengunduran diri sebagaimana yang dilakukan salah satu tokoh pendukung kudeta, Mohammed El-Baradei. Pengunduran diri semacam ini tak lebih sekedar cuci tangah dari akibat yang  mereka lakukan dengan mendukung kudeta dan melanggar prinsip demokrasi yang ia junjung selama ini.

Meskipun pengunduran diri ini terkesan sebagai upaya cuci tangan, namun tidak dipungkiri  juga cukup berpengaruh terhadap anggota kabinet lainnya hasil bentukan militer. Walupun belum dapat dikonfirmasi pihak independen, namun dilaporkan banyak menteri yang ingin mengundurkan diri, namun dikenakan tahanan rumah oleh penguasa militer.

Sekali lagi, yang sangat mendesak dilakukan segera adalah upaya penengah yang sungguh-sungguh karena usaha untuk membubarkan organisasi atau parpol tertentu hanya akan semakin memperlebar peluang terjadinya lingkaran setan kekerasan seperti yang pernah dialami Aljazair. Partai Salafi An-Nour, kelihatannya kembali berusaha sebagai mediator sebagaimana yang diuangkapkan salah satu petingginya, Dr. Khalid Alamuddin.

``Meskipun kami berselisih pendapat dengan kelompok IM terkait visi dan gerakan-gerakannya, namun mereka tetaplah bagian dari bangsa ini sehingga tidak ada alasan bagi sebagian pihak yang ingin membubarkannya. Partai An-Nur sekarang sedang berusaha melakukan kontak dengan semua pihak untuk mengatasi krisis saat ini,`` paparnya kepada TV Dream2 Mesir, Sabtu (17/8/2013).

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Mesir saat ini ibarat rumah yang sudah mengalami kebakaran besar yang butuh pertolongan untuk mengatasi kebakaran tersebut terutama dari para penengah dalam dan luar negeri. Bila kebakaran tidak dapat diatasi maka rezim diktator akan kembali berkuasa sehingga Al-Rabei Al-Arabi (Arab Spring) akan gagal total dan kembali ke status quo sebelumnya, sebab tolok ukur keberhasilannya adalah Mesir.*/Sana`a, 10 Syawwal 1434 H  
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Senin, 09 September 2013

Carley Watts, Model Seksi Pakaian Dalam Wanita yang Akhirnya Memeluk Islam


Carley Watts

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
"Di dalam Islam, perempuan diperlakukan dengan hormat. Muslimah juga menghargai diri dan tubuh mereka," ujar Carley Watts, seorang model ternama asal Inggris yang tengah jatuh hati pada Islam. 

Bukan model biasa, Carley merupakan model seksi pakaian dalam wanita. Mengejutkan, ia memeluk Islam dan menutup tubuh indahnya dengan hijab.

Bertemu dengan seorang pria Tunisia, Mohammed Salah, menghantarkan Carley pada hidayah. Ia pun mempelajari Islam dan tertarik pada penjagaan Islam yang sangat melindungi wanita. Setelah berislam, ia segera meninggalkan pekerjaannya dan berencana menikah dengan Mohammed dan tinggal di Tunisia. 

Cerita jalan hidayah sang model usia 24 tahun itu dimulai ketika ia berlibur ke Tunisia bulan April lalu. Ia pergi berjalan-jalan ke pantai hingga kemudian secara tak sengaja bertemu dengan seorang penjaga pantai. Ya, penjaga pantai itulah Mohammed Salah. 

"Aku suatu hari memberanikan diri menanyakan namanya. Bahasa Inggrisnya tidak baik, kami pun berbicara dalam bahasa Prancis. Namun hanya sedikit bahasa Prancis yang saya ingat saat sekolah," ujar Carley sembali tersenyum malu, dikutip The Sun. 

Dari sanalah, hubungan Carley dan Saleh dimulai. Carley pun kemudian mengenal agama yang Saleh anut, Islam. Rupanya Saleh menjadi perantara Carley menemukan hidayah. Wanita beranak satu itu pun kemudian tertarik pada risalah yang dibawa Rasulullah. "Mohammed (Saleh) telah membuatku benar-benar melihat hidupku. Aku merasa tenang dan bahagia," ujarnya.

Dengan bantuan Salah, Carley mempelajari agama Islam. Ia kemudian menemukan betapa Islam memuliakan wanita. Carley yang selama ini mengumbar keindahan tubuhnya pun merasakan penyesalan yang sangat. Makin mempelajari syariat Islam kepada para wanita, Carley makin membulatkan tekad untuk mengakhiri pekerjaannya. 

Carley merasa selama ini hidupnya begitu liar. Apalagi gaya hidup pemudapemudi Inggris seperti minum alkohol dan pergi ke klub malam juga sangat dekat dengan kehidupannya. "Aku tak ingin lagi hidup liar, tak mau lagi mempertontonkann payudara juga tak akan pergi lagi ke klub malam lagi," tuturnya.

Pilihan hidup Carley ini pun tentu mengejutkan keluarga dan fans nya. Mereka menolak keputusan Carley. Teman-temannya pun tak mendukung pertunangannya dengan Salah. "Mereka tak dapat menerima aku masuk Islam dan mengenakan jilbab. Mereka menganggap aku telah mengakhiri hidupku dengan keputusan itu," ujarnya sedih.

Kendati demikian, Carley tak goyah. Ia tetap memutuskan untuk menjadi muslimah. Ia pun bersyukur Salah selalu mendukungnya. "Dia mencintaiku dan memintaku untuk menjadi istrinya. Kami sudah membulatkan itu (rencana pernikahan). Ia menerimaku apa adanya, ia tak pernah mencoba mengubahku," ujarnya.

Bertekad Menutup Aurat
Setelah menikah dengan Salah, Carley akan pindah dari Inggris ke Tunisia bersama putri kecilnya, Alanah yang baru berusia dua tahun. Oktober menjadi bulan yang telah disiapkan untuk hidup baru Carley di negara Timur Tengah itu. Ia bersama Alanah akan tinggal di Kota Monastir. Carley juga akan meresmikan statusnya sebagai ualaf saat musim semi, sebelum menikah dengan Salah.

Pindahnya Carley ke Tunisia pun seiring dengan tekad Carley untuk melepaskan pekerjaannya sebagai model. Tak hanya itu, ia juga telah siap untuk menutup aurat. "Hidupku mungkin memang diatur sesuai keyakinan, namun aku tak pernah merasa khawatir," ujarnya.

Carley juga telah mempelajari budaya Tunisia, termasuk budaya menutup aurat bagi wanita. Ia pun megaku menyukai budaya itu. Menurutnya, budaya itu telah menghormati dan menghargai tubuh para wanita. Budaya itulah yang diajarkan Islam, yang tengah dipelajari Carley.

Menjadi Muslim seperti Kupu-kupu yang Bebas


Andy

REPUBLIKA.CO.ID, BRATISLAVA -- Andy lahir di tengah pakem perbedaan itu masalah. Ayah dan ibunya seorang penganut Kristen. Secara otomatis, ia pun memeluk agama yang dianut orang tuanya.

Namun, pengetahuan agama justru didapatnya melalui bibinya. Ia sering diajak ke gereja.
"Ya, saat itu aku masih kecil, jadi tak banyak yang ku pikirkan. Namun, aku coba menyenangkan hatinya dengan mengikuti apa yang dilakukannya," kenang Andy, seperti dikutip Onislam.net, Ahad (8/9).

Secara umum, tak ada yang berkesan bagi Andy ketika ia ke gereja. Yang ia ingat, hanyalah ketika ia bermain sandiwara dan memerankan seorang putri. Selebihnya, tak ada yang istimewa.
"Justru aku itu heran, selesai beribadah justru banyak hal buruk yang dilakukan," kata dia.

Memasuki usia dewasa, Andy mulai bermasalah dengan keluarganya. Hubungan dengan sang ayah tak lagi harmonis. Mereka sering terlibat pertengkaran hebat. Ini yang membuat Andy merasa frustrasi. Pada masa inilah, Andy mulai mengenal obat-obatan terlarang, rokok dan mengkonsumsi alkohol secara berlebihan.

Suatu malam, sang adik mengajaknya makan di sebuah restoran. Saat itu, Andy bertemu teman sang adik yang kebetulan beragama Islam. Andy dibujuk agar tinggal di Bratislava. Namun, Andy menolaknya.

Pada Januari 2005, Andy pun luluh. Ia memutuskan tinggal bersama adiknya itu. Lalu, ia bertemu dengan teman adiknya yang beragama Islam itu. Pada satu pertemuan, keduanya terlibat diskusi menarik tentang Islam dan Muslim. Kesan awal, Andy merasa aneh dengan apa yang disampaikan teman adiknya itu.

Perlahan tapi pasti, Andy mulai menikmati debat itu. Banyak informasi baru yang didapatnya. Ia bahkan dipinjamkan buku-buku tentang Islam dan Muslim. Lalu, ia pun diberikan Alquran terjemahan bahasa Slovakia.
"Jujur, ketika membaca Alquran, aku mulai merasakan gejolak. Aku menangis ketika membaca surat Al-Muzammil," kenang dia.

Andy menyadari banyak hal yang telah disia-siakan. Ia telah melakukan banyak hal yang merugikan dirinya sendiri. Lalu, muncul niatan untuk memperbaiki diri. Ketika niatan itu terlaksana, ia bertemu dengan seorang Muslimah. Kembali terjadi obrolan mendalam tentang Islam.

"Aku mulai yakin, aku pun bersyahadat," kenangnya.

Selepas bersyahadat, Andy merasa seperti kupu-kupu yang bebas. Ia rasakan ketenangan, hal yang jarang ditemukannya. "Ini kesempatanku untuk hidup lebih baik," kenangnya.

Namun, keputusannya menjadi Muslim tak diterima orang tuanya. Alquran miliknya diambil. Begitupula dengan ponsel. Andy pun merasa kesepian. "Aku berdoa, cobaan ini semakin membuatku kuat. Insya Allah, aku ingin menjadi wanita yang shalih, teman dan istri yang baik," pungkasnya. 

Robohnya Pusat Studi Islam Kami di Timur Tengah


REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Ikhwanul Kiram Mashuri
Dalam sebuah diskusi persoalan Mesir di Jakarta beberapa waktu lalu, novelis Habiburrahman El Shirazy mengemukakan kekhawatirannya tentang runtuhnya pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah. Termasuk di dalamnya kampus-kampus terkemuka di mana banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu di sana.

"Saya sungguh khawatir dengan apa yang terjadi di Timur Tengah sekarang ini. Bukan hanya soal konflik yang telah memakan korban ribuan jiwa tak berdosa, tapi juga hancurnya pusat-pusat peradaban Islam, terutama beberapa universitas Islam tempat banyak mahasiswa kita menimba ilmu," ujar Habib di depan para ulama dan tokoh Islam peserta diskusi.

Sebelum ngetop sebagai novelis, Habib sempat belajar beberapa tahun di Universitas Al Azhar, Kairo. Ia lulus sarjana jurusan hadis, fakultas ushuluddin. Sejumlah novelnya mengambil setting suasana belajar mahasiswa Indonesia di Kairo, terutama di Universitas Al Azhar.

Berkat dua novelnya yang best seller yang kemudian juga difilmkan-Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih-jumlah mahasiswa/mahasiswi Indonesia pun meningkat tajam. Kini, ada sekitar 5.000 pelajar Indonesia di Mesir. "Tapi, dengan kondisi Timur Tengah seperti sekarang, saya juga bingung ke mana nanti anak-anak saya kuliahkan agama?" ujar Habib yang kini mempunyai dua anak laki-laki yang masih kecil.

Sebagai alumnus Al Azhar, saya juga merasakan kegalauan yang sama dengan Habib. Kegalauan yang bersumber pada fakta bahwa selama ini sejumlah kampus di Timur Tengah merupakan kiblat yang baik buat memperdalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Di Irak, misalnya, ada Universitas Baghdad yang salah seorang alumnusnya pernah menjadi presiden RI, yaitu almarhum KH Abdurrahman Wahid, yang dikenal luas dengan panggilan Gur Dur.

Di Suriah ada Universitas Damaskus. Di sini para mahasiswa selain kuliah di fakultas keagamaan, juga banyak yang mondok di Mujamma' Sheikh Ahmad Kuftaro (Ahmad Kuftaro Center). Di samping tempat belajar agama (pesantren), Mujamma' Kuftaro juga menjadi pusat studi perbandingan mazhab dan kepercayaan (interfaith dialogue) serta pengamalan Tariqat Naqsabandiyah. Yang terakhir ini banyak pengamalnya di Indonesia, terutama di kalangan Nahdliyin.

Beberapa mahasiswa yang lain ada juga yang belajar secara pribadi ke sejumlah ulama Sunni terkenal di Damaskus. Seorang di antaranya adalah Prof Dr Sheikh Wahbah Zuhaili. Bahkan, Sheikh Zuhaili juga memberi 'ijazah' kepada ulama-ulama tertentu di Indonesia. Ijazah yang dimaksud berupa tulisan tangan di kover dalam buku karya sang sheikh yang ditujukan kepada ulama Indonesia.

Intinya, sang ulama Suriah mengizinkan kepada ulama Indonesia yang ditunjuk untuk mengajarkan isi buku tersebut kepada murid-murid di Indonesia. Ada puluhan buku yang telah ditulis Sheikh Zuhaili, utamanya dalam bidang hukum/fikih.

Di Arab Saudi juga banyak universitas yang menjadi tujuan mahasiswa Indonesia. Ada Universitas Ummul Quro di Makkah. Alumnusnya, antara lain, KH Aqil Siroj (ketua umum PBNU) dan KH Said Aqil Munawar (mantan menteri agama).

Ada Universitas Islam Madinah. Di antara lulusannya, KH Maftuh Basyuni (mantan menteri agama), Dr Hidayat Nurwahid (ketua Fraksi PKS di DPR dan mantan ketua MPR), KH Bachtiar Nasir (Sekjen MIUMI), Dr Salim Segaf Aljufri (Mensos), dan KH Hasan Sahal (pengasuh Pondok Gontor). Lalu, di Riyadh ada Universitas Islam Muhammad bin Saud yang lulusannya, antara lain, KH Ali Musthafa Ya'qub, imam akbar Masjid Istiqlal yang dikenal juga sebagai ahli hadis.

Nama-nama tersebut sekadar menyebut sebagai contoh. Tentu, masih banyak alumni dari universitas-universitas di Arab Saudi yang kini menjadi tokoh masyarakat di pusat maupun daerah, formal ataupun informal. Apalagi bila ditambah dengan ulama-ulama dan kiai terdahulu yang pada umumnya pernah belajar agama (mukim) di Makkah dan Madinah selama puluhan tahun.

Berikutnya, yang menjadi tujuan paling banyak para mahasiswa Indonesia untuk menuntut ilmu adalah Mesir, terutama Universitas Al Azhar. Kini, diperkirakan ada sekitar 5.000 pelajar Indonesia di Mesir. Alumninya yang sudah terjun di masyarakat ditaksir lebih dari 50 ribu orang. Mereka tersebar di berbagai daerah.

Mereka, antara lain, sekadar menyebut contoh, Prof Dr Quraish Shihab (mantan menteri agama), Dr KH Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi (gubernur NTB), KH Syukri Zarkasyi (pimpinan Pondok Gontor), KH Athian Ali Dai (ketua Forum Ulama Umat Indonesia/FUUI), KH Surahman Hidayat (ketua Dewan Syariah PKS/Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR), dan KH Azman Ismail (imam besar Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh).

Tentu, ada juga pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negara lain di Timur Tengah, seperti di Yordania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Sudan, Qatar, dan Kuwait. Namun, jumlah mereka sedikit dan pengaruh alumninya masih terbatas.

Itulah peta pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat menuntut ilmu keislaman para mahasiswa/mahasiswi Indonesia. Mereka, seperti dikatakan dalam Alquran, adalah yang pergi untuk memperdalam pengetahuan agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali (QS 9:122).

Suasana kehidupan umat beragama di negeri kita yang sangat harmonis dan penuh kedamaian tidak bisa dimungkiri sedikit banyak atas pengaruh para alumni Timur Tengah yang kini telah terjun di tengah masyarakat. Selain menekuni profesi masing-masing, mereka juga aktif berdakwah dan mengabdi kepada umat.

Namun, seperti dikhawatirkan Habib, konflik di negara-negara Arab sedikit atau banyak pasti berpengaruh pada pusat-pusat peradaban Islam, utamanya universitas-universitas tempat menuntut ilmu mahasiswa Indonesia. Bila konflik berkepanjangan dan kondisinya terus memburuk, saya sungguh khawatir akan terjadi, meminjam judul cerpen AA Navis, “Robohnya Pusat Studi Islam Kami di Timur Tengah”. Cerpen AA Navis berjudul “Robohnya Surau Kami”.

Tentu, bukan dalam arti harfiah roboh yang berarti ambruk. Namun, lebih bermakna bahwa kampus-kampus di Timur Tengah tidak lagi nyaman sebagai tempat belajar Islam yang rahmatan lil'alamin. Wallahu a'lam bisshawab.

Rabu, 21 Agustus 2013

Surat Muhammad Beltaji Pada Putrinya, Asmaa, yang Syahid di Rabaa Al-Adawiyah

Letter from Dr Mohamed Beltaji to his martyred daughter

Putriku tercinta dan guruku bermartabat Asma al-Beltaji, aku tidak mengucapkan selamat tinggal padamu, tapi kukatakan bahwa besok kita akan bertemu lagi.

Kau telah hidup dengan kepala terangkat tinggi, memberontak melawan tirani dan belenggu serta mencintai kemerdekaan. Kau telah hidup sebagai seorang pencari cakrawala baru untuk membangun kembali bangsa ini, memastikan  tempatnya di antara peradaban.

Kau tidak pernah dijajah diri dengan apa yang menyibukkan mereka dari usiamu. Meskipun studi tradisional gagal memenuhi aspirasi dan ketertarikanmu, kau selalu yang terbaik di kelas.

Aku tidak punya cukup waktu untuk membersamaimu dalam hidup singkat ini, terutama karena waktuku tidak memungkinkan untuk menikmati kebersamaan denganmu. Terakhir kali kita duduk bersama di Rabaa Al Adawiya kau berkata padaku, "Bahkan ketika Ayah bersama kami, Ayah tetap sibuk" dan kukatakan "Tampaknya bahwa kehidupan ini tidak akan cukup untuk menikmati setiap kebersamaan kita, jadi aku berdoa kepada Tuhan agar kita menikmatinya kelak di surga."

Dua malam sebelum kau dibunuh, aku melihatmu dalam mimpiku dengan gaun pengantin putih dan kau terlihat begitu cantik.  Ketika kau berbaring disampingku aku bertanya, "Apakah ini malam pernikahanmu?" kau menjawab, "Waktunya adalah di sore hari Ayah, bukan malam". Ketika mereka bilang kau dibunuh pada Rabu sore aku mengerti apa yang kau maksud dan aku tahu Allah telah menerima jiwamu sebagai martir. Kau memperkuat keyakinanku bahwa kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada pada kebathilan.

Aku merasa sangat terluka karena tidak berada di perpisahan terakhirmu dan tidak melihatmu untuk terakhir kalinya, tidak mencium keningmu, dan memilki kehormatan untuk memimpin shalat jenazahmu. Aku bersumpah demi Allah sayang, aku tidak takut kehilangan nyawaku atau penjara yang tidak adil, tapi aku ingin membawa pesan yang telah berkorban nyawa untuknya,  untuk menyelesaikan revolusi, untuk menang dan mencapai tujuannya.

Jiwamu telah dimuliakan dengan kepala terangkat tinggi melawan tiran. Peluru tajam telah membelah dadamu. Yang menurutku luar biasa dan penuh dengan kebersihan jiwa. Aku yakin bahwa kau jujur kepada Allah dan Dia telah memilihmu di antara kami, memberimu kehormatan dengan pengorbanan.

Akhirnya, putriku tercinta dan seorang guru yang bermartabat... aku tidak mengucapkan selamat tinggal, tapi aku mengucapkan sampai jumpa kita akan segera bertemu dengan Nabi kita tercinta dan sahabat-sahabatnya di surga, dimana keinginan kita untuk menikmati kebersamaan kita akan  menjadi kenyataan.


__
NB: Asmaa Mohamed El Beltaji berusia 17 tahun dan adalah antara yang dibunuh pada tragedi berdarah di Medan Rab'ah (14/8/2013). Beliau adalah putri satu-satunya Mohammed El Beltaji, seorang pimpinan Ikhwanul Muslimin.


*diterjemahkan oleh @nastarabdullah dari http://www.middleeastmonitor.com/news/africa/7007-letter-from-dr-mohamed-beltaji-to-his-martyred-daughter

Jumat, 01 Maret 2013

Anis Matta, Anugerah Tuhan untuk Indonesia

“Sengsara membawa nikmat” adalah salah satu novel yang kemudian difilmkan dan menjadi legenda di Indonesia. Saya sendiri tidak pernah membaca novel yang ditulis tahun 1928 ini. Saya hanya pernah menonton mini serinya di TV. Itu pun waktu saya kecil tahun 90-an dan saya lupa alur ceritanya. Yang saya tahu, ending dari film tersebut adalah happy ending.
Salah satu yang menarik dari novel/film ini adalah judulnya. Ya, judulnya yang membawa kesan optimisme bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Sebagaimana tanah liat yang harus merasakan sakitnya tempaan dan panasnya bakaran api untuk menjadi gelas keramik yang cantik. Atau sebagaimana anakan pohon yang harus merasakan sakitnya dicabut sampai ke akarnya untuk bisa dipindahkan ke tempat yang membuat anak pohon itu bisa leluasa bertumbuh menjadi pohon yang lebih besar lagi.
Hal ini lah yang mungkin dialami PKS saat ini. Ujian yang menimpa PKS beberapa hari yang lalu, yang notabene terasa pahit bagi kader-kadernya, kalau diibaratkan pohon, kuncup-kuncup bunganya sudah mulai terlihat. Sebegitu cepatnya. Dari berita dan cerita yang sampai kepada kita, banyak masyarakat yang jadi ingin tahu lebih dalam (termasuk saya) pada partai ini. Masyarakat yang kritis mencoba untuk menganalisa berita sampai mereka menyimpulkan bahwa memang terjadi konspirasi pada partai ini. Simpati dan kasihan bermunculan terhadap partai yang terzolimi ini, bahkan dari orang yang sebelumnya antipati. Bahkan diantara mereka ada yang mendaftar sebagai anggota baru partai yang sering memberi kejutan ini.
Namun ternyata, ujian itu tidak hanya memunculkan satu jenis kuncup bunga saja (banyaknya simpati yang berdatangan), tapi juga semakin dikenalnya salah seorang kader terbaik di partai ini. Dia lah presiden PKS yang baru : Anis Matta.
Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya. Namun saya mencoba mencari referensi tentangnya dan dari pidato-pidatonya serta tulisan-tulisannya. Ketika pada orasi perdananya pasca dilantik menjadi presiden PKS, dia menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa PKS saat ini justru malah membangunkan macan yang tertidur. Macan-macan yang tertidur itu adalah para kadernya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang berada pada tataran grass-root. Dan Anis Matta lah raja macannya. Macan yang sebenarnya tidak tertidur, tapi sebagai bagian dari rencana besar partai, sang macan yang terjaga ini dikandangkan dulu sembari menunggu momen yang tepat. Namun ternyata sejarah tidak berjalan linier, menanggapi kejadian luar biasa yang menimpa PKS, sang macan terpaksa dikeluarkan dari kandangnya.
Dia langsung berbuat. Bahkan pada hari hari pertama dia dilantik menahkodai partai itu. Pidato perdananya yang sebenarnya ditujukan untuk menggetarkan dan menguatkan jiwa para kadernya, justru juga membuat masyarakat Indonesia yang menontonnya menjadi terharu, terpesona dan tercerahkan, bahkan tertarik untuk bergabung. Pada hari itu juga, dia mengumumkan untuk melepaskan jabatannya sebagai salah satu pimpinan DPR sekaligus keanggotaannya di DPR. Peristiwa yang jarang ditemukan di negeri ini (untuk saat ini).
Kunjungan ke Jawa Barat, Sumatera Utara, Jogjakarta, Jawa Timur, Makassar (-ed) dan Bali secara berturut-turut non stop dia lakukan di hari-hari berikutnya selepas pelantikannya, untuk menggelorakan semangat para kadernya. Pidato-pidatonya di lima (enam -ed) provinsi itu, yang kemudian diupload di Youtube oleh para netter, adalah pidato motivasi yang menggugah dan mengubah. Sangat jarang ada pidato politik yang memotivasi tapi juga tetap berisi. Hal ini memang karena dulu, jauh sebelum dia berpartai, dia sering mengisi training motivasi. Dia sudah menjadi trainer & motivator jauh sebelum profesi ini menjadi booming seperti yang terjadi sekarang ini. Dia sudah lebih dulu mendahului zamannya.
Dia “hanya” lulusan setara S1 dari jurusan syari’ah LIPIA. Namun kecerdasan dan keluasan ilmunya patut diacungi jempol. Dia pernah menjadi dosen di fakultas ekonomi UI. Dan dia sering mengisi seminar berbagai tema baik di dalam maupun luar negeri. Kegiatan ini lebih banyak dia lakoni sebelum dia berpartai. Maka saya pribadi merasakan sendiri ruh tulisannya, ketika ia menuliskan di bukunya Mencari Pahlawan Indonesia, bahwa ketika harus memilih diantara satu, maka pilihlah keberanian tanpa senjata di medan perang, atau, kecerdasan tanpa pendidikan formal di medan pengetahuan, katanya. Setelah lulus dari LIPIA, sebenarnya dia sudah mengantongi beasiswa S2 di luar negeri. Namun melalui istikhorohnya, beasiswa itu tidak dia ambil. Ada hal yang lebih besar yang harus dia lakukan daripada “sekedar” kuliah S2 pikirnya waktu itu.
Namun Anis Matta tetaplah Anis Matta yang cerdas. Bahkan dari sini kita jadi tahu bahwa kecerdasan logikanya tidak mampu mengalahkan kecerdasan hatinya. Salah seorang dosennya di LIPIA pernah berujar bahwa seandainya ada nilai yang lebih tinggi dari A+, maka nilai itu akan aku berikan untuk Anis. Dia pun sempat mengikuti pelatihan di LEMHANAS dan menjadi lulusan terbaik. Malahan setelah itu dia pun didaulat menjadi pengajar para jenderal di lembaga itu.
Kecerdasan dan keluasan wawasannya ini adalah anugerah tuhan yang tumbuh subur pada diri Anis. Karena Anis memiliki pupuk yang baik berupa kekuatan tekad dan kebiasaan membaca yang dahsyat. Bahkan waktu liburan pada masa sekolahnya dulu, dia isi dengan membaca buku. Bayangkan saja, setelah dikurangi dengan kegiatan pokok: tidur malam, shalat lima waktu, makan dan MCK, selebihnya adalah membaca buku seharian semalaman. Dan itu dia lakukan sepanjang hari liburnya. Saya jadi teringat petuah motivator dunia, Jim Rhon: “The leader is a reader”.
Ketika dalam salah satu pelatihan Anis Matta tentang pengembangan diri, Anis Matta menjelaskan tentang potensi otak manusia yang dahsyat. Bahwa dalam otak manusia bisa diibaratkan ada berbagai macam kamar. Setiap kamar merupakan tema yang berbeda. Sehingga ketika kita mempelajari suatu materi/tema tertentu kita mengaktifkan kamar tertentu di otak kita. Ketika kita merasa lelah, sebenarnya yang lelah itu hanya bagian kamar yang sedang aktif itu saja, namun kita bisa mengistirahatkan kamar itu sambil mempelajari tema lain yang artinya kita mengaktifkan kamar yang baru.
Itulah sebabnya, katanya, mengapa dalam sejarah Islam banyak sekali ditemukan para ulama yang multitalented, yang menguasai ilmu agama, sejarah, geografi, kedokteran, sastra, matematika, kimia, politik, dan sebagainya sekaligus. Inilah juga yang mungkin diterapkan Anis pada dirinya. Bahwa menjadi spesialis dengan ilmu yang mendalam pada suatu bidang tertentu itu penting, tetapi juga menjadi generalis yang mengerti terhadap berbagai persoalan itu juga bukan suatu hal yang mustahil. Dan inilah yang diharapkan oleh Anis untuk dirinya dan para kadernya. Karena menurutnya, kualitas seperti inilah yang harus ada pada seorang pemimpin. Pemimpin besar adalah orang yang memiliki kualitas yang prima pada tiga dimensi manusia sekaligus: Jasadiyah (Fisiknya), Aqliyah (Otaknya), dan Ruhiyah (Jiwanya).
Pemikiran negarawan muda ini sangat brilian. Diantara salah satu gagasannya adalah tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan negara. Belakangan saya jadi sadar, ternyata dasar-dasar syari’ah yang kuat yang pernah dia pelajari semasa kuliah, menjadi semacam kelebihan tersendiri baginya untuk berkreasi namun tidak melanggar norma. Hal ini dibuktikan dengan jujur apa adanya oleh dirinya dan rekan-rekannya dengan mendirikan sebuah partai yang berasaskan Islam. Asas yang menjadi spirit dan sumber motivasi hakiki baginya dan seluruh kader-kadernya untuk memajukan negeri Indonesia.
Bahwa katanya, antara Pancasila dan Islam tidak relevan lagi untuk dipertentangkan, karena memang tidak ada dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Ketika hal ini dijelaskan kepada para jenderal yang notabene sangat menjaga sekali dengan Pancasila, maka para jenderal itu pun menjadi mengerti, “Iya ya, ternyata memang tidak ada pertentangan antara Pancasila dengan Islam, kenapa dulu kita harus saling menumpahkan darah sesama bangsa sendiri”.
Namun kemudian sang jenderal bertanya, “Kalau memang tidak ada pertentangan antara Pancasila dengan Islam, lalu mengapa anda tidak menjadikan Pancasila saja sebagai asas partai Anda?”. 'Sang Macan' menjawab dengan cerdas, “Kita tentu sama-sama tahu bahwa kita pasti mati meninggalkan dunia ini. Dan kami yakin setelah kehidupan dunia ini ada kehidupan lain yang abadi. Kami ingin di kehidupan yang abadi itu, kami hidup dengan nyaman. Dan kami ingin ada jaminan, bahwa perjuangan kami untuk memajukan negeri ini dibalas dengan kenyamanan hidup di kehidupan yang abadi itu. Itulah sebabnya kami menjadikan Islam sebagai asas kami agar menjadi jaminan dan sumber motivasi kami bahwa kerja keras kami membangun negeri ini berbalas syurga-Nya”. Sebuah sumber motivasi, yang membuat para kadernya senantiasa ikhlas berkorban untuk kemajuan negeri ini.
Entah mengapa, saya mempunyai firasat, suatu saat nanti, orang ini akan menjadi pemimpin bangsa yang besar ini: I N D O N E S I A.
DITULIS OLEH: FATIH 

*http://politik.kompasiana.com/2013/02/15/anis-matta-sang-macan-yang-terjaga-534577.html

Perubahan Selalu Bising: 'BJB Case & Thariq bin Ziyad' | Kolom Rhenald Kasali

"Perubahan Selalu Bising"

Author: Rhenald Kasali

“Change will not come if we wait for some other person, or if we wait for some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.” (Barack Obama)
Tak dapat disangkal, saat ini banyak orang menyenangi kata “perubahan”. Tapi apakah mereka mengerti konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu. Masih banyak orang yang berpikir change atau perubahan adalah “ganti orang” atau ganti pimpinan. Maka tak aneh bila kata “perubahan” bukan cuma laku dalam dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu.
Kalau dibawa ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi kaum profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban politisasi. Lagi asyik melakukan transformasi yang bukan main banyak musuhnya, malahan dapat “musuh baru”, yaitu kandidat pejabat publik yang butuh suara. Mengapa begitu?
Selalu Ada Resistensi
Saya kira publik sudah semakin cerdas dan mengerti, perubahan selalu berhubungan dengan adanya “kelompok yang melawan”. Kaum resisten ini jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka sangat vokal dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat bila kehilangan jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan muka. Dan “kehilanganmuka” bisa berarti “tsunami” bagi pelaku pelaku transformasi.
Padahal transformasi tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energi yang kuat. Transformasi butuh suasana persatuan dan kepercayaan. Banyak orang tak menyadari, setiap langkah transformasi sangat berisiko bagi jabatan seseorang. Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus, kelompok yang resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diperbesar. Padahal dalam era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang kompleks dan mudah mengambil langkah yang salah, lupa atau ada saja kekurangannya.
The Burning Platform
Dalam buku ChaNgE! yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini mungkin kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh mengena pada sasaran. Saya kutipkan saja sebagian: “Perubahan adalah bagian yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur keberhasilannya dari kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu potensi.
”Lalu, pada alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja karena pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: “Sering kali seorang CEO, termasuk saya sendiri, berhadapan dengan perubahan setelah dia sudah berada di ambang pintu.Situasi seperti ini mungkin dapat diatasi, tetapi hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.” Robby memang selalu bicara to the point.
Perubahan, bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita berhasil mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar biasa untuk membuat kita bangkit kembali. Namun manakala kita kalah, betapa bisingnya suara di luar. Apalagi bila Anda melakukan perubahan pada lembaga yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah. Anda akan menyaksikan banyak “peluru nyasar” yang tidak jelas hendak ditembak ke mana.
Perhatikan saja betapa “bisingnya” keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada saat pemungutan suara. Itu pun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang mulanya sama-sama mau memberantas korupsi. Ada peluru yang ditujukan kepada salah satu kandidat meski informasi awalnya mungkin berasal dari orang dalam yang ditujukan kepada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang lain. Lalu ada lagi peluru yang disasarkan kepada CEO.
Penembak yang lihai ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke sasaran yang tepat karena begitu masuk ke ranah politik,tiap pihak punya kepentingan yang berbeda dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change maker yang terlibat, melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali.

Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad.
Kisahnya kurang lebih begini. Thariq yang lahir sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan kabilah Nafazah di Afrika Utara. Perawakannya tinggi, keningnya lebar, dan kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di Afrika Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya, dan terutama keberaniannya. Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan pembimbingnya untuk menaklukkan Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol.
Lalu, Thariq diutus untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja Roderick sedang sibuk menghadapi pemberontakan di kawasan utara kerajaannya, Thariq datang dengan 7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol. Pengiriman pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar yang kelak dinamai Jabal (Gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya Gibraltar.
Ketika sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh prajuritnya dan dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar semua perahu yang digunakan untuk mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya tentu saja terperangah, kaget, dan sebagian bahkan marah. Setelah membakar semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, “Di mana jalan pulang? Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah siaga. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, tidak ada makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian.”

Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform dan itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala dipercaya memimpin transformasi.
Kebanyakan pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau mau bertahan hidup, Thariq dan para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni maju terus. Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara yang sarat politisasi. Kalau para karyawannya ingin bertahan hidup, mereka harus maju membenahi bersama.
Hanya itu pilihannya. Masalahnya, apakah para aktivis kebijakan publik mengerti bahwa mereka bisa dipakai kaum resisten untuk menaburkan peluru amarah mereka yang sedang kehilangan muka? Pilihannya hanya dua: bersekutu dengan the losers yang resisten atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi yang berujung kebaikan. Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan menjadi mahal, semua ada ongkosnya dan tentu saja ada tukang catutnya. []

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI | @Rhenald_Kasali on twitter             


*http://www.seputar-indonesia.com/analystofthemonth/perubahan-selalu-bising