Oleh: Bahrum Subagia
Dalam hadis riwayat Thabrani dari Jarir RA, ada seorang anak muda mengadu kepada Rasulullah SAW.
Ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku ingin mengambil hartaku.”
Mendengar pengaduan anak muda itu, Rasul berkata, “Pergilah kamu dan bawa ayahmu kesini!”
Setelah anak muda itu berlalu, Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada beliau. Jibril berkata; “Ya, Muhammad, Allah 'Azza wa Jalla menyampaikan salam untukmu, dan berpesan, kalau orang tuanya datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh telinganya.”
Tak lama, anak muda itu datang bersama ayahnya. Rasulullah kemudian bertanya orang tua itu. “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil uangnya?”
Sang ayah yang sudah tua itu menjawab, “Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah. Bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang ammati(saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu)-nya, dan untuk keperluan saya sendiri?”
Rasulullah bersabda lagi, “Lupakanlah hal itu. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu.”
Maka wajah keriput lelaki tua itu pun menjadi cerah dan tampak bahagia. Dia berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah SWT berkenan menambah kuat keimananku dengan kerasulanmu. Memang saya pernah menangisi nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya.”
Rasulullah mendesak, “Katakanlah, aku ingin mendengarnya.”
Orang tua itu berkata dengan air mata yang berlinang. “Saya mengatakan kepadanya kata-kata ini, 'Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah. Lantaran sakit dan deritamu, aku tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita.”
“Lalu air mataku berlinang-linang dan mengucur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal aku tahu ajal pasti datang. Setelah engkau dewasa, dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan.”
“Sayang, kau tak mampu penuhi hak ayahmu, kau perlakukan aku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku, seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu. Seakan-akan kesejukan bagi orang-orang yang benar sudah dipasrahkan.”
Selanjutnya Jabir berkata, “Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu, seraya berkata, ‘Engkau dan hartamu milik ayahmu!”
Dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika sudah besar, sebagai anak kadang kita lupa kepada orang tua yang telah berjuang mencari nafkah untuk kita. Ayah kita memberikan segala apa yang dimilikinya tanpa pernah meminta kembali.
Sedangkan kita, ketika akan memberikan sesuatu untuk ayah dan ibu, begitu banyak pertimbangan. Tak jarang, kita mencari dan membuat berbagai alasan agar kepunyaan yang dimiliki tidak berpindah kepada orang tua kita.
Dalam kesempatan ini, marilah kita terus mencintai dan menyayangi keduanya, sebelum mereka pergi meninggalkan kita untuk selamanya.
Sumber: www.republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar